Suara.com - Sekelompok pembangkang atau pemberontak Arab Saudi yang diasingkan di luar negeri telah meluncurkan partai oposisi sebagai bentuk perlawanan politik terhadap pihak kerajaan.
Menyadur Al Jazeera, Kamis (24/9/2020), Arab Saudi adalah negara dengan sistem kerajaan atau monarki. Mereka tidak mentolelir pembentukan partai politik apapun.
Namun, sekelompok pembangkang yang kini berada di Inggris dan Amerika Serikat, memutuskan untuk membentuk Partai Majelis Nasional tepat pada tanggal berdirinya kerajaan Arab saudi, 23 September.
Pembuatan partai oposisi itu sebagai respon dari teracbiknya demokrasi di negara tersebut. Mereka menganggap Raja Salman dan bawahannya tak mentolelir perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi.
Baca Juga: Arab Saudi Buka Umrah Secara Bertahap Mulai 4 Oktober
Upaya untuk mengatur politik di salah satu negara terbesar di Timur Tengah itu bukannya belum pernah dilakukan. Pada 2007 dan 2011 hal itu pernah terjadi meski berhasil tragis yakni anggotanya ditindas dan ditangkap.
"Dengan ini kami mengumumkan pembentukan Partai Majelis Nasional, yang bertujuan untuk melembagakan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di kerajaan Arab Saudi," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Pembentukan partai oposisi dilaporkan Al Jazeera mungkin tak akan berdampak besar pada otoritas keluarga penguasa Arab Saudi.
Namun, di luar itu, Partai Majelis Nasional, dikhawatirkan bisa menyulitkan Arab Saudi dalam negosiasi harga minyak mentah, serta saat mereka jadi tuan rumah KTT G20 pada November mendatang.
Partai oposisi ini dipimpin oleh aktivis hak asasi manusia terkemuka yang berbasis di London Yahya Assiri, dan anggotanya termasuk akademisi Madawi al-Rasheed, peneliti Saeed bin Nasser al-Ghamdi, Abdullah Alaoudh yang berbasis di AS dan Omar Abdulaziz yang berbasis di Kanada, sebagaimana dilaporkan AFP.
Baca Juga: Soal Izin Umrah, Pemerintah Tunggu Pengumuman Arab Saudi
"Kami mengumumkan peluncuran partai ini pada saat kritis untuk mencoba menyelamatkan negara kami ... untuk melembagakan masa depan yang demokratis dan untuk menanggapi aspirasi rakyat kami," kata Assiri selaku sekretaris jenderal partai.
Assiri adalah mantan perwira Angkatan Udara Kerajaan Saudi, mendirikan organisasi hak asasi manusia ALQST yang berbasis di London.
Dia telah membuat katalog apa yang disebutnya pelanggaran negara yang meluas termasuk penangkapan aktivis wanita, akademisi dan anggota keluarga kerajaan.
“Pemerintah terus-menerus melakukan kekerasan dan penindasan, dengan meningkatnya jumlah penangkapan dan pembunuhan politik," kata Assiri.
"Kebijakan yang semakin agresif terhadap negara-negara bagian, penghilangan paksa dan orang-orang yang didorong untuk meninggalkan negara itu,” tambahnya.
Rasheed, juru bicara partai, menekankan bahwa para pendirinya tidak memiliki permusuhan pribadi dengan keluarga yang berkuasa.
Tetapi tidak adanya peradilan independen, kontrol ketat pemerintah terhadap media lokal dan "pemberangusan opini publik, disebutnya sebagai faktor lain yang menyebabkan pembentukan kelompok tersebut, kata pernyataan partai tersebut.
Arab Saudi telah lama menghadapi kritik internasional atas catatan hak asasi manusianya. Itu meningkat sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman ditunjuk sebagai pewaris takhta Saudi pada Juni 2017.
Secara khusus, pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada Oktober 2018 di dalam konsulat Saudi di Istanbul memicu pengawasan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap catatan hak asasi manusia kerajaan.