Suara.com - Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani, mengatakan, TNI sulit dibedakan perannya dengan BNPT jika dilihat dari isi draf Perpres soal pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme.
Menurutnya, hal itu menyimpang dari UU Terorisme Nomor 5 Tahun 2018.
"Terus terang saya sebagai anggota legislatif yang pernah menjadi Pansus dan Timus dari RUU yang kemudian menjadi UU 5/2018 itu agak berbeda, agak menyimpang, dari politik hukum yang menyertai pembahasan UU Terorisme 5/2018. Di sana kalau saya lihat TNI kemudian menjadi punya peran yang sulit dibedakan dengan BNPT, " kata Arsul dalam sebuah diskusi daring, Kamis (24/9/2020).
Arsul mengatakan, dalam politik hukum terhadap kejahatan-kejahatan terorisme itu dibagi dua fungsi yakni fungsi penindakan dan pencegahan.
Baca Juga: Waduh! Ternyata Jaringan Teroris di Jateng Tersebar Hingga ke Luar Negeri
Fungsi pencegahan berdasarkan UU nomor 5 tahun 2018 menjadi tugas BNPT bukan TNI.
"Tapi kalau kita baca draf perpres itu, yang mengatur tentang penangkalan itu, itu kan bagian-bagian kerja pencegahan. Itu tidak begitu jelas siapa kemudian yang menjadi leading sector," tuturnya.
Lebih lanjut, Arsul mengatakan, bukan TNI tidak boleh dilibatkan soal penangkalan teroris. Namun harus dibawah koordinasi BNPT.
"Di bawah koordinasi dengan BNPT. Bukan berkoordinasi. Saya kira ini bisa dibaca mulai dari pasal 43 E, 43 F, di UU nomor 5 tahun 2018. Misalnya soal-soal yang masuk dalam kerja penangkalan itu bisa kita ambil dasar hukumnya pasal 43 F huruf C," tandasnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah kekinian tengah membahas draf rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam aksi terorisme. Dia menilai rancangan Perpres tersebut sesuai dengan UU.
Baca Juga: Yayasan Persadani Antisipasi Eks Napiter Kembali ke Habitat, Ini Kisahnya
"Karena dulu memang pikirannya terorisme itu adalah lebih ditekankan sebagai tindak pidana. Tindak Pidana itu artinya hukum, maka namanya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme," kata Mahfud pada Rabu (8/7/2020).