Suara.com - Jelang peringatan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia -- sebenarnya setiap ada momen tertentu -- isu kebangkitan komunisme berhembus.
Semenjak pertengahan bulan ini, isu tersebut makin kencang, terutama setelah ada dua kejadian penganiayaan terhadap ulama yang waktunya hanya berjarak dua hari. Pada Jumat (11/9/2020) imam masjid di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Muhammad Arif, dibacok dan kemudian meninggal dunia. Setelah itu, Minggu (13/9/2020), ulama Syekh Ali Jaber ditusuk seorang pemuda di masjid Bandarlampung. Kasus tersebut mengingatkan memori lama, PKI membantai sejumlah ulama.
Pendakwah Hilmi Firdausi merupakan salah satu tokoh yang ikut mengingatkan bahaya kebangkitan komunisme.
Melalui aku media sosial, dia menanggapi kalangan yang meminta jangan menghembuskan isu tersebut setiap September seakan-akan sengaja dimainkan untuk kepentingan tertentu. Kepada mereka yang tidak berkenan dengan isu komunisme muncul, Hilmi Firdausi menegaskan tidak ada maksud memainkan isu, tetapi lebih supaya publik waspada.
Baca Juga: Menilai PKI Bangkit Lagi, Jadi Alasan Gatot Bergabung di KAMI
"Ada yang nyuruh hentikan isu PKI tiap September. Ini bukan memainkan isu, tapi jaga-jaga dan waspada, tidak hanya September, kalau perlu sepanjang tahun waspada. Sekali saja lengah, sejarah bisa saja kembali terulang. Lagian nggak ada ruginya kan kita siaga," kata Hilmi Firdausi.
Sehabis menyatakan sikap, Hilmi Firdausi kemudian menyindir buzzer. "Buzzer biasanya akan komen tentang HTI dan khilafah," Hilmi menambahkan.
Tokoh yang juga getol mengingatkan tentang isu komunisme adalah Wakil Sekretaris Jenderal MUI Ustaz Tengku Zulkarnain. Beberapa waktu yang lalu, dia mengaitkan kasus penusukan terhadap Syekh Ali Jaber dengan gerakan komunis karena kejadiannya pada bulan September.
Dugaan itu muncul karena menurut Tengku ada banyak peristiwa penganiayaan, pembunuhan, yang terjadi pada September.
“Bahkan peristiwa-peristiwa yang didalangi komunis, di seluruh dunia itu, ada gerakannya itu adalah gerakan September. Jadi ini bukan hanya di Indonesia. Selalu gerakan September, menuju Oktober,” kata Tengku dalam ungkapannya dalam program Dua Sisi.
Baca Juga: Gatot Nurmantyo Dicopot dari Panglima TNI Gara-gara Cegah Kebangkitan PKI?
Tengku menyebut salah satu gerakan yaitu yang dilakukan PKI Muso pada 1948.
“Banyak peristiwa begitu-begitu, penganiayaan-penganiayaan di Indonesia itu hampir terjadinya di bulan September. Jadi kita harus waspada, jangan kita segera fokus pada orangnya saja, oknumnya saja,” kata Tengku.
“Sebenarnya siapa mereka, kenapa terjadi, dan selalu sistematis, terarah,” Tengku menambahkan.
Dalam saluran Youtube Hersubeno Point, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengatakan gerakan PKI tidak bisa dilihat bentuknya, namun bisa dirasakan.
Gatot mengatakan sudah mengamati kemungkinan-kemungkinan kebangkitan gerakan PKI gaya baru, bahkan sejak 2008, dia sudah mendapat informasi.
"Sehingga, saya menyatakan, membungkus semua gerakan ini dengan proxy war,” ujar Gatot.
“Gerakan ini tidak bisa dilihat bentuknya, tapi dirasakan bisa. Contohnya, sejak 2008 itu seluruh sekolah meniadakan pelajaran tentang G30SPKI. Ini suatu hal yang sangat berbahaya,” Gatot menambahkan.
Menurut Gatot keputusan instansi pendidikan tidak lagi memasukkan materi G30SPKI ke dalam mata pelajaran sejarah sangat berisiko. Dikatakan berisiko karena generasi muda bakal tumbuh menjadi pribadi yang skeptis terhadap gerakan tersebut sehingga tidak ada sikap kewaspadaan dalam diri mereka.
“Mereka dulu tidak mengenyam pelajaran tersebut. Sehingga pada tahun 2017—jika kita sama-sama ingat, bahwa generasi muda 90 persen lebih tidak percaya dengan adanya PKI. Maka, dengan data-data yang ada, pertama kali pada Maret 2014 lalu, saya beranikan diri untuk berikan kuliah umum tentang proxy war di UI,” kata Gatot.
Kendati demikian, Gatot terus berupaya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya komunisme.
Itulah sebabnya, ketika masih menjadi Panglima TNI, dia memerintahkan seluruh anggota untuk menonton film dokumenter tentang gerakan tersebut.
“Saya melihat itu semua (kebangkitan PKI). Maka saya perintahkan seluruh jajaran saya untuk menonton film G30SPKI. Pada saat itu saya punya sahabat dari salah satu partai—sebut saja PDI mengatakan untuk menghentikan itu. Saya bilang terima kasih, tapi kemudian saya tetap gas, karena ini (PKI) benar-benar bahaya,” kata dia.
Stigma
Dalam sejarah politik di Indonesia, ada rupa-rupa stigma yang biasa digunakan. Misalnya komunis, intoleran, dan radikal.
Menurut analis politik dari lembaga Indo Strategi Research and Consulting Arif Nurul Imam stigma merupakan strategi mendiskreditkan rival politik.
"Jika dilihat dari kacamata politik tentu tak lepas dari motif kepentingan apa latar belakang munculnya stigma tersebut," kata Arif Nurul Imam kepada Suara.com, Rabu (16/9/2020).
Di zaman Orde Baru, stigma komunis digunakan untuk mendiskreditkan kalangan yang melawan penguasa.
Sejumlah tokoh agama sering mengangkat isu komunisme. Bahkan, beberapa waktu lalu ada yang menyebut penusuk ulama Syekh Ali Jaber merupakan suruhan orang komunis.
"Soal itu, bisa jadi dikait-kaitkan meski bisa jadi tidak terkait. Memang kita memiliki sejarah kelam soal relasi komunis dengan ulama yang saling berhadapan," kata Arif.
Jika hari ini kemudian muncul isu komunisme karena merespon peristiwa penusukan Syekh Ali Jaber, kata Arif, hal tersebut tak bisa lepas dari sejarah politik bangsa ini yang pernah terjadi peristiwa memilukan antara komunis dan ulama.
Isu komunis yang muncul dalam lanskap politik hari ini, kata Arif, sebagian juga karena merespon aneka peristiwa seperti jelang peringatan Gerakan 30 September PKI dan kejadian penusuk Syekh Ali Jaber sehingga asumsi yang menyerang akan diasumsikan sebagai komunis.
"Selain faktor sejarah kelam bangsa ini soal komunis, sehingga stigma komunis gampang meluncur kepada mereka yang berhadapan atau melawan kaum agamawan atau ulama," kata Arif.
Masalahnya, kata Arif, komunis kerap digunakan sebagai stigma untuk mendiskreditkan lawan politik, meski sejatinya belum tentu komunis.
Menurut Arif, publik tak bisa menelan mentah-mentah terhadap isu itu. "Apakah fakta dan ada relasinya atau sekadar stigma," kata dia.