Suara.com - Sejak ibu kota Indonesia, Jakarta, memberlakukan kembali pembatasan jarak sosial (PSBB) pada Senin lalu (14/9/2020), pengemudi ojek Yosef mengalami penurunan pendapatan hariannya lebih dari 80 persen dalam beberapa hari dan ia hanya membawa pulang sekitar Rp 50.000 rupiah.
Di bawah peraturan yang lebih ketat, sebagian besar tempat kerja harus memerintahkan sebagian besar karyawannya untuk kerja dari rumah, dan meskipun pusat perbelanjaan dapat tetap buka, makan di tempat tidak diperbolehkan.
Warga yang tertangkap di luar tanpa masker akan diserahi tugas bakti sosial atau mendapat denda mulai dari Rp 250.000.
Pembatasan akan diberlakukan hingga Minggu mendatang (27/9/2020), tetapi dapat diperpanjang hingga (11 Oktober), jika ada peningkatan signifikan dalam jumlah kasus Covid-19.
"Jangan diperpanjang lagi, kasihan mereka yang dari kelas menengah ke bawah," kata ayah dua anak berusia 38 tahun itu, seraya menambahkan bahwa dia sudah meminjam uang dari tetangganya untuk bertahan hidup.
Tujuh bulan setelah Indonesia melaporkan kasus pertamanya, negara ini berjuang dengan infeksi yang meningkat. Dilaporkan 4.071 kasus baru pada Selasa (22/0/2020), sehingga totalnya menjadi 252.923, dengan 9.837 kematian. Merupakan jumlah kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Sekitar 10 juta orang tinggal di Jakarta yang padat, sebuah angka yang meningkat menjadi 30 juta jika termasuk wilayah metropolitan di sekitar kota. Dengan seperempat dari semua kasus di Indonesia, ini adalah pusat penyebaran Covid-19 di 34 provinsi di kepulauan itu.
Sementara negara-negara lain telah berhasil memperlambat penyebaran infeksi dengan penguncian parsial (lockdown wilayah).
Jika melihat kebangkitan dalam kasus-kasus ketika mereka dibuka kembali, Indonesia belum melewati puncak gelombang pertama, menurut Mahesa Paranadipa Maikel, Ketua Kesehatan Indonesia Law Society, badan industri pekerja medis dan ahli hukum.
Baca Juga: Duh! Kapasitas RS Rujukan Covid-19 di Jakarta Hampir Penuh
"Alasannya berkisar dari implementasi setengah hati dari kebijakan pemerintah pusat dan daerah [hingga] tokoh masyarakat dan pejabat yang tidak mengikuti protokol kesehatan. Jadi masyarakat juga apatis,” kata Mahesa dilansir laman AsiaOne, Rabu (23/9/2020).