Suara.com - PP Muhammadiyah, PB Nahdlatul Ulama, dan beberapa organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan secara tegas menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas pemerintah dan DPR RI.
Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Harianto Oghie, mengatakan mereka yang tergabung dalam Aliansi Organisasi Pendidikan menilai RUU Cipta Kerja merupakan ancaman bagi pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
"Kami aliansi organisasi pendidikan menyatakan: satu menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, klaster pendidikan dan kebudayaan harus dikeluarkan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja," kata Harianto Oghie dalam konferensi pers, Selasa (22/9/2020).
Harianto menjelaskan, klaster pendidikan dan kebudayaan yang masuk dalam RUU Cipta Kerja BAB III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha akan memasukan pendidikan dan kebudayaan dalam rezim investasi dan kegiatan berusaha.
"Hal ini telah menggeser politik hukum pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha melalui penggunaan terminologi izin berusaha pada sektor pendidikan, yang sesungguhnya tidak berorientasi laba," jelasnya.
Kemudian klaster pendidikan dan kebudayaan ini juga dinilai akan berimplikasi hilangnya nilai, karakteristik, pendidikan yang berbasis kebudayaan serta telah menegasikan peran kebudayaan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
"Hal itu sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang memerintahkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya," lanjutnya.
RUU Cipta Kerja juga dinilai akan mengkapitalisasi pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan menghilangkan sejumlah syarat dan standar bagi lembaga pendidikan asing yang akan menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Keempat, peran penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, oleh menteri agama dihilangkan, sehingga Kementerian Agama tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengontrol pendidikan tinggi keagamaan.
Baca Juga: Pemuda Muhammadiyah Jabar Tolak Pelaksanaan Pilkada 2020
Lalu, dihapuskannya standar pendidikan tinggi menjadikan negara kehilangan peran dalam memastikan terselenggaranya mutu pendidikan yang dicitakan, kondisi ini menjadikan pemerintah kehilangan ukuran dalam menilai perkembangan pendidikan tinggi yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan politik hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi.