Saran Ustaz Hilmi Jika Pilkada Tetap Desember 2020, Masalahnya KPU Tak Siap

Siswanto Suara.Com
Selasa, 22 September 2020 | 13:55 WIB
Saran Ustaz Hilmi Jika Pilkada Tetap Desember 2020, Masalahnya KPU Tak Siap
Ilustrasi Pilkada. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah desakan agar pemilihan kepala daerah secara serentak yang rencananya diselenggarakan pada 9 Desember 2020 ditunda karena masih ada pandemi Covid-19, Ustaz Hilmi Firdausi mengusulkan alternatif jika memang pilkada tidak bisa diundur lagi.

"Jika tetap memaksakan pilkada di era pandemi, kenapa tidak mencoba dengan sistem pemilu online atau e-voting berbasis e-KTP?" kata Hilmi, Selasa (22/9/2020).

Menurut Hilmi, sistem online, selain bisa dilakukan dimana saja, juga bisa mengurangi potensi kecurangan yang berujung pada sengketa hasil pemilihan.

"Efektif, efisien dan lebih aman di era pandemi ini," kata pendiri Sekolah Islam Terpadu Daarul Fikri dan pengasuh PAA Yatim Dhuafa Assa’adah itu.

Baca Juga: Ramai Usulan Penundaan Pilkada 2020, Rudy dan Gibran Ikuti Keputusan KPU

KPU tak siap

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung pada Kamis, 11 Juni 2020, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan lembaganya tidak siap kalau menerapkan pemungutan suara secara e-voting dalam penyelenggaraan pilkada tahun 2020.

"Untuk pemilihan yang sekarang kami belum mempersiapkan kalau dipaksakan harus disiapkan, untuk saat ini tidak siap, jadi saya nggak mau berandai-andai," kata Arief Budiman.

Menurut dia menyiapkan sebuah sistem baru tidak bisa dipaksakan secara cepat, banyak yang harus dilakukan untuk untuk merealisasikannya.

Dia mengatakan sistem berbasis dalam elektronik bisa diterapkan pada pilkada kali ini adalah rekapitulasi hasil pemungutan suara elektronik.

Baca Juga: Sentil Debat Pelaksanaan Pilkada Tak Ada Habisnya, Sujiwo Tejo: Majukan Aja

Rekapitulasi tersebut juga tidak langsung diterapkan diseluruh daerah pemilihan, melainkan beberapa daerah yang dinyatakan sudah siap, tujuan penerapan rekapitulasi elektronik itu sesungguhnya adalah untuk pemilihan umum 2024.

Kemudian, untuk merealisasikan rekapitulasi elektronik KPU harus melakukan banyak tahapan dari persiapan, pengujian, perbaikan dan penyempurnaan lainnya sejak awal 2020 ini, tidak bisa langsung atau disediakan secara singkat.

"Kami sudah melakukan beberapa kali simulasi, bahkan rencananya simulasi dilanjutkan pada April, namun karena Covid-19 simulasi menjadi tertunda," ujarnya dalam laporan Antara.

Demikian juga untuk pemungutan suara elektronik, metode ini tentunya juga harus melewati banyak tahapan penting agar benar-benar bisa diterapkan.

Sedangkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebutkan pemungutan suara elektronik sebenarnya memungkinkan sekali untuk diterapkan.

Hal itu menurut dia mengingat sekarang Indonesia juga sudah bergerak pada ranah virtual, banyak hal yang sudah dilakukan oleh masyarakat sudah lewat model dalam jaringan (daring).

Selain itu, kerangka hukum penerapan juga bisa didukung oleh aturan perundang-undangan lainnya seperti mengatur soal elektronik.

"Bisa sekali (diterapkan), yang terpenting adalah soal kepercayaan (terhadap sistem daring pemilihan)," ujarnya.

Desakan pilkada ditunda

Desakan kepada pemerintahan Joko Widodo - Ma'ruf Amin agar menunda dulu pilkada disampaikan oleh berbagai kalangan.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, sampai protes dengan memutuskan golput jika pilkada secara serentak tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020 atau di tengah pandemi Covid-19.

Golput kepanjangannya golongan putih. Istilah politik ini muncul pertamakali pada pemilu pertama di Indonesia, 1971, atau di awal Orde Baru, ketika para mahasiswa protes.

Protes Azra disampaikan melalui akun media sosial dan telah terkonfirmasi.

"Saya golput pilkada 9 Desember 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah korona atau terinfeksi Covid-19," kata dia.

Menurut dia jika pilkada tetap dilaksanakan, sementara jumlah kasus Covid-19 tidak menunjukkan penurunan, akan sangat berbahaya bagi calon pemilih.

"Pilkada di masa pandemi yang terus meningkat sekarang tanpa ada tanda pelandaian juga sangat membahayakan kesehatan pemilih di tengah kerumunan massa yang bisa meningkatkan jumlah warga terinfeksi dan meninggal dunia. Apalagi saya dan banyak senior citizen/manula lain punya morbiditas tertentu yang rawan dan rentan," kata Azra.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, dan Ketua DKPP menyepakati bahwa pelaksanaan pilkada serentak 2020 tetap dilangsungkan pada tanggal 9 Desmeber dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan.

Keputusan tersebut diambil setelah mencermati seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali.

Rapat tersebut juga mengambil kesimpulan bahwa dalam rangka mengantisipasi penyebaran pandemi Covid-19 dan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, Komisi II DPR meminta KPU untuk segera merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam, khususnya ditekankan pada pengaturannya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI