Suara.com - Meskipun gelombang desakan agar pemerintah menunda pilkada serentak yang dijadwalkan berlangsung 9 Desember 2020 hingga vaksin corona ditemukan menguat, pemerintahan Joko Widodo sejauh ini tidak memberikan sinyal akan memenuhi tuntutan.
Analis politik dan ekonomi Rustam Ibrahim mengkritik opini yang menghubung-hubungkan sikap pemerintah tetap akan menyelenggarakan pilkada sesuai agenda yang ditentukan dengan keikutsertaan putra dan mantu Presiden Jokowi ke pilkada Kota Solo (Jawa Tengah) dan Kota Medan (Sumatera Utara).
Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju ke bursa pilkada Kota Solo. Sedangkan mantu Jokowi, Bobby Nasution, berlaga di pilkada Kota Medan.
"Mengaitkan penolakan Presiden Jokowi terhadap penundaan pilkada karena anak dan menantunya ikut sebagai calon wali kota, saya pikir benar-benar merupakan cara pikir dan ucapan para haters," kata Rustam Ibrahim.
Baca Juga: Jokowi: Perhatikan Dampak Sosial Ekonomi Bagi Nelayan di Pelabuhan Patimban
Rustam meyakini sikap pemerintahan Jokowi tetap menjalankan mekanisme yang sudah diatur sudah didasarkan pada pertimbangan yang matang dengan melibatkan instansi-instansi terkait.
"Sikap Presiden tidak menunda ini tentunya melalui konsultasi atau pertimbangan DPR, KPU, Bawaslu, juga partai politik," kata Rustam.
Ruhut Sitompul politikus dari partai pengusung Jokowi, PDI Perjuangan, menjelaskan melalui media sosial bahwa pilkada tetap akan dilaksanakan Desember nanti agar mekanisme kepemimpinan tetap berjalan normal.
"Kenapa pilkada tidak ditunda? Agar tidak mengganggu mekanisme kepemimpinan lima tahunan," kata Ruhut, Senin (21/9/2020).
Menurut Ruhut selama semua orang menjalankan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19, tidak akan terjadi kluster baru.
Baca Juga: Jokowi Minta Percepatan Pembangunan Pelabuhan Patimban Jawa Barat
"Yang penting kita semua patuh dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan," kata Ruhut.
Perspektif yang berbeda disampaikan oleh analis politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin. Menurut Ujang dengan mempertimbangkan pandemi yang dampaknya semakin mengkhawatirkan, pilkada seharusnya ditunda dulu. Menurut dia kalau pemilu tetap dilaksanakan dalam keadaan seperti sekarang, justru bisa melukai rakyat karena mereka yang bakal menjadi korban.
Menurut Ujang wajar jika kemudian rakyat bertanya-tanya kenapa dan apa dasar pemerintahan Jokowi enggan menunda pelaksanaan pilkada.
"Calon kepala daerah banyak yang terkena corona, penyelenggara pilkada juga banyak yang terinfeksi, ormas seperti PBNU juga meminta pilkada diundur. Jika masih dipaksakan tak diundur, rakyat tentu bertanya-tanya. Jangan-jangan ada kaitannya dengan anak dan mantunya yang sedang maju Pilkada. Jangan-jangan hanya soal itu," kata Ujang kepada Novian Ardiansyah, jurnalis Suara.com, Senin (21/9/2020).
Ujang mengatakan opsi penundaan pilkada relevan dengan keadaan sekarang, kesehatan dan keselamatan masyarakat mesti menjadi prioritas.
"Penundaan pilkada itu suatu keniscayaan. Menjaga nyawa rakyat jauh lebih penting dari sekedar pilkada. Dan menjaga nyawa rakyat jauh lebih penting dari sekedar persoalan politik dinasti," kata Ujang.
Desakan agar pilkada ditunda juga disampaikan oleh anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Dia mengingatkan pemerintah bahwa Covid-19 sudah menjangkiti sebagian calon dan penyelenggara pilkada. Menurut dia perkembangan ini harus menjadi pertimbangan untuk menunda pilkada yang rencananya diselenggarakan Desember nanti.
"Dua anggota KPU dan satu anggota Bawaslu sudah positif Covid-19. Termasuk juga sejumlah penyelenggara daerah di KPU Agam, Sibolga, Tangsel, dan lain-lain. Termasuk klaster Bawaslu di Boyolali yang jumlahnya 103 lebih," kata Titi Angraini, Jumat (18/9/2020).
Itu sebabnya, menurut Titi Anggraini, pilkada sebagai medium pengendalian Covid-19 adalah terbukti tidak logis.
Dikatakan, calon dan penyelenggara pemilu yang terinfeksi, juga angka positif Covid-19 di Indonesia yang terus meroket merupakan alasan kuat bagi KPU, pemerintah, dan DPR untuk menunda pilkada 2020 sampai jumlah kasus positif Covid-19 melandai atau berkurang signifikan secara konsisten.
"Atau setidaknya ditunda sampai tengah 2021," kata Titi Anggraini.
Ketua KPU Arief Budiman telah terkonfirmasi positif Covid-19, kata Titi Angraini, menunjukkan pilkada dengan segala aktivitas interaksi yang harus dijalani penyelenggara nyata membawa risiko.
"Perlahan terus bertambah yang terpapar Covid-19. Yakin pilkada kita sehat?" kata dia.
Menurut Titi Anggraini perkembangan ini makin relevan menunda pilkada dan memusatkan segala konsentrasi untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pemerintah akan tetap menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 atau setelah ditunda dua bulan -- seharusnya September. "Keputusan ini sudah final, tidak bisa dipersoalkan lagi," kata Mahfud.
Dalam sebuah rapat, sebelum diputuskan dilaksanakan 9 Desember, memang muncul usulan penundaan pada Maret 2021 atau sekaligus 2022. Bahkan, kata Mahfud, ada yang mengusulkan ditunda sampai pandemi selesai.
Mahfud mengatakan pilkada serentak diputuskan 9 Desember dengan berbagai pertimbangan matang. Misalnya, di negara-negara lain bisa menyelenggarakan pemilu dengan aman karena semua menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin. Selain itu, karena sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi tuntas.