Suara.com - Menanggapi desakan kepada pemerintah agar menunda pelaksanaan pilkada tahun ini karena dampak penyebaran pandemi semakin mengkhawatirkan, politikus PDI Perjuangan Ruhut Sitompul menjelaskan pilkada tetap akan dilaksanakan Desember agar mekanisme kepemimpinan tetap berjalan normal.
"Kenapa pilkada tidak ditunda? Agar tidak mengganggu mekanisme kepemimpinan lima tahunan," kata Ruhut, Senin (21/9/2020).
Menurut Ruhut selama semua orang menjalankan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19, tidak akan terjadi kluster baru.
"Yang penting kita semua patuh dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan," kata Ruhut.
Baca Juga: UPDATE Kasus COVID-19 Kota Batam, Ada Tahanan dan Bayi Positif Corona
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD memberikan sinyal pemerintah akan tetap menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 atau setelah ditunda dua bulan -- seharusnya September. "Keputusan ini sudah final, tidak bisa dipersoalkan lagi," kata Mahfud.
Dalam rapat sebelum, sebelum diputuskan dilaksanakan 9 Desember, memang muncul usulan penundaan pada Maret 2021 atau sekaligus 2022. Bahkan, kata Mahfud, ada yang mengusulkan ditunda sampai pandemi selesai.
Mahfud mengatakan pilkada serentak diputuskan 9 Desember dengan berbagai pertimbangan matang. Misalnya, di negara-negara lain bisa menyelenggarakan pemilu dengan aman karena semua menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin. Selain itu, karena sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi tuntas.
Desakan agar pilkada ditunda, antara lain disampaikan oleh anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Dia mengingatkan pemerintah bahwa Covid-19 sudah menjangkiti sebagian calon dan penyelenggara pilkada. Menurut dia perkembangan ini harus menjadi pertimbangan untuk menunda pilkada yang rencananya diselenggarakan Desember nanti.
Baca Juga: Pilkada 2020 Sesuai Jadwal, Jokowi Sebut Tak Bisa Tunggu Pandemi Berakhir
"Dua anggota KPU dan satu anggota Bawaslu sudah positif Covid-19. Termasuk juga sejumlah penyelenggara daerah di KPU Agam, Sibolga, Tangsel, dan lain-lain. Termasuk klaster Bawaslu di Boyolali yang jumlahnya 103 lebih," kata Titi Angraini, Jumat (18/9/2020).
Itu sebabnya, menurut Titi Anggraini, pilkada sebagai medium pengendalian Covid-19 adalah terbukti tidak logis.
Dikatakan, calon dan penyelenggara pemilu yang terinfeksi, juga angka positif Covid-19 di Indonesia yang terus meroket merupakan alasan kuat bagi KPU, pemerintah, dan DPR untuk menunda pilkada 2020 sampai jumlah kasus positif Covid-19 melandai atau berkurang signifikan secara konsisten.
"Atau setidaknya ditunda sampai tengah 2021," kata Titi Anggraini.
Ketua KPU Arief Budiman telah terkonfirmasi positif Covid-19, kata Titi Angraini, menunjukkan pilkada dengan segala aktivitas interaksi yang harus dijalani penyelenggara nyata membawa risiko.
"Perlahan terus bertambah yang terpapar Covid-19. Yakin pilkada kita sehat?" kata dia.
Menurut Titi Anggraini perkembangan ini makin relevan menunda pilkada dan memusatkan segala konsentrasi untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Survei: publik ingin ditunda
Publik meminta agar pilkada serentak ditunda di tengah situasi pandemik Covid-19 dan pro dan kontra terkait diketatkannya pembatasan sosial berskala besar.
"Temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi pilkada serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden, karena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru Covid-19," kata Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
Sementara itu, sebanyak 12,1 persen lebih memilih pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau berisiko tinggi.
Sedangkan yang menginginkan Pilkada tetap dilanjutkan sesuai jadwal sebanyak 10,6 persen, dan sisanya 4,9 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab. Pilkada sendiri sudah ditunda dari jadwal sebelumnya pada 9 September 2020.
Menurut dia, pada tahapan awal seperti pendaftaran bakal calon sudah menimbulkan kerumunan massa pendukung, apalagi nanti memasuki masa kampanye.
Pilkada 2020 akan diselenggarakan 270 daerah, mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Setidaknya ada 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah pada 9 Desember 2020.
"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujarnya.
Sedikitnya 63 orang bakal calon kepala daerah diketahui positif Covid-19, dan jumlahnya masih terus bertambah. Demikian pula dengan penyelenggara pemilu, dari komisioner KPU dan KPUD, Bawaslu, hingga petugas di tingkat bawah yang terjangkit.
Opsi protokol kesehatan dalam Pilkada diragukan efektivitas-nya, terbukti dari banyaknya pelanggaran yang ada.
Dendik mengatakan tanpa ada pilkada saja penyebaran virus masih terus berlangsung, apalagi bila pilkada tetap diselenggarakan.
"Dengan pola kampanye yang masih mengandalkan pengumpulan massa, virus akan lebih cepat menular. Dampaknya daerah-daerah tersebut bisa menerapkan kembali PSBB yang berujung pada hancurnya perekonomian dan penghidupan masyarakat," tutur Dendik.
Survei Polmatrix Indonesia dilakukan pada 1-10 September 2020, dengan jumlah responden 2.000 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
Metode survei dilakukan dengan menghubungi melalui sambungan telepon terhadap responden survei sejak 2019 yang dipilih secara acak. Margin of error survei sebesar ±2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.