Dahnil Vs Said Didu Soal Masuk Partai dan Jongos Cukong Kekuasaan

Siswanto Suara.Com
Senin, 21 September 2020 | 10:44 WIB
Dahnil Vs Said Didu Soal Masuk Partai dan Jongos Cukong Kekuasaan
Jubir Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak. (Suara.com/Arga).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dahnil Anzar Simanjuntak kembali menanggapi statement deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia Muhammad Said Didu yang dinilai terlalu menggeneralisir seakan-akan semua orang masuk partai politik buruk.

"Saya tak merasa tertuduh, tapi risih dengan generalisasi, itu saja. Seolah semua orang berpartai jelek, dan menggadaikan diri. Itu saja," kata Dahnil melalui akun media sosial.

Juru bicara Prabowo Subianto (menteri pertahanan yang juga ketua umum Partai Gerindra) juga merespon tantangan Said Didu supaya membuktikan bagian mana dari statementnya yang sombong dan merendahkan orang lain. 

"Kan saya sudah tunjukkan sejak awal. Terimakasih, selamat bekerja juga bang SD," kata Dahnil.

Baca Juga: Ke Jubir Prabowo, Didu: Apa Salah Jika Saya Tak Siap Jadi Jongos Cukong?

Reaksi Dahnil berawal dari pernyataan Said Didu yang menegaskan alasannya tidak mau begitu saja menerima pinangan partai politik. 

"Banyak pihak membujuk saya masuk partai. Jawaban saya: Mental saya belum siap menggadaikan dan mendegradasi prinsip hidup saya demi kepentingan pimpinan parpol dengan cukongnya," kata mantan mantan sekretaris menteri Energi Sumber Daya Mineral melalui akun Twitter yang dikutip Suara.com.

Pernyataan Said Didu dinilai Dahnil  terlalu menggeneralisir. Menurut Dahnil, tak semua orang masuk partai berarti menggadaikan diri hidup demi pimpinan partai dengan cukongnya.

"Bang Said yang saya hormati ini namanya meninggikan diri selangit, sambil merendahkan orang yang bersikap berbeda. Tidak semua yang masuk partai seperti yang abanganda tuduhkan. Biarlah kehebatan dan kemuliaan abang itu orang dan Allah SWT yang menilai. Terimakasih," kata Dahnil.

Dianggap menuduh, Said Didu balik bertanya kepada Dahnil. Lantas, Said Didu menegaskan kembali maksud dari pernyataannya.

Baca Juga: Said Didu Ungkap Alasannya Tak Gabung Parpol: Belum Siap Gadaikan Prinsip

"Kok merasa dituduh? Saya hanya menyatakan diri saya ga siap menggadaikan diri saya," katanya.

Lantas, Said Didu meminta Dahnil untuk membuktikan ucapannya.

"Tunjukkan kata-kata saya dalam mention saya tersebut yang meninggikan diri - justru saya merendahkan diri. Apakah salah kalau saya tidak siap untuk jadi jongos cukong kekuasaan?" katanya.

Sebagian besar netizen sependapat dengan Dahnil dalam mengartikan pernyataan Said DIdu. Netizen dengan akun @PutraJayaHS menilai pernyataan Said Didu memang kurang pas karena mengandung prasangka buruk terhadap sesama anak bangsa.

Dan pernyataan tersebut ditanggapi Said Didu dengan mengatakan, "semoga suatu saat akan muncul partai dan sistem politik yang bebas dari cukong kekuasaan dan mengutamakan kepentingan rakyat."

Dibiayai cukong

Terminologi cukong dalam beberapa pekan terakhir kembali jadi bahasan setelah diucapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.

Mahfud mengatakan 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Setelah mereka menang, akan lahir korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan, kata Mahfud, lebih berbahaya dari korupsi duit.

Ketika menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertajuk Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi, Jumat (11/9/2020), yang dapat ditonton publik melalui kanal Youtube Pusako FH Unand, disebutkan, korupsi kebijakan itu bisa bebentuk lisensi pengusaan hutan, lisensi penguasan tambang, dan lain-lain yang tumpang tindih.

Itulah sebabnya, Mahfud meminta jangan biarkan praktik semacam itu terjadi sehingga merusak tatanan. Dia ingatkan, tujuan pilkada itu untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas serta menjauhkan dari korupsi.

Pernyataan Mahfud ditanggapi Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain dengan pertanyaan yang menjurus.

"Gempar...! Mahfud MD: 92 persen kepala daerah dibiayai cukong. Kemudian membayarnya dengan kebijaksanan saat menjabat. Republik cukong dong... O, ya prof, presidennya dulu dibiayai cukong juga, kah...? Nanya..." kata Tengku melalui akun Twitter yang dikutip Suara.com.

Ketika memberikan pernyataan itu, Mahfud tidak menyebutkan siapa saja cukong yang bermain mata dengan calon kepala daerah.

Menurut Tengku, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jauh lebih berani mengungkap cukong ketimbang Mahfud.

"Ahok malah lebih berani ungkapkan perihal cukong dibandingkan Profesor Mahfud MD...? Hemm..." kata Tengku.

Tengku memposting link berita media online untuk memperkuat pernyataannya.

Dalam acara yang berbeda, Mahfud menilai pilkada yang diselenggarakan secara langsung atau lewat DPRD sama-sama berpotensi terjadi politik uang.

Dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal yang diselenggarakan oleh MMD Initiative di Jakarta, Mahfud mengatakan potensi terjadinya politik uang pada dua sistem pemilihan itu sama saja hanya berbeda modelnya saja.

"Sama-sama ada money politics-nya, mau eceran atau mau borongan kan begitu, kan sama-sama tidak bisa dihindari," kata dia dalam laporan Antara.

Mahfud mengatakan dulu ketika ada perdebatan soal pilkada harus langsung atau tidak, sudah pernah menyampaikan, bahkan ditulis di keputusan MK, bahwa potensi politik uang di pilkada sama saja.

"Kalau pilihan langsung kepada rakyat itu money politics-nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan, bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang ini, bayar ke botoh-botoh, pada rakyat pakai amplop satu-satu," katanya.

Mahfud juga menjelaskan pengalamannya waktu menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Dia menemukan kecurangan dalam pilkada, kecurangan-kecurangan yang luar biasa, seperti penggunaan dana pemerintah oleh petahana di masa lalu, hingga bermacam-macam kejadian kriminalitas.

"Kalau nggak salah ada 12 jenis pelanggaran pilkada mulai dari pidana sampai administratif," katanya.

Menurutnya, karena hal itu pada waktu itu memang ada pemikiran soal kemaslahatan, sehingga tercetus pilkada sebaiknya kembali ke DPRD.

Namun setelah itu, dalam prosesnya Indonesia memilih, pilkada digelar secara langsung dan dipilih oleh rakyat bukan DPRD, dengan pertimbangan sejumlah hal-hal positif yang didapat dari sistem tersebut.

"Jadi itu sudah final secara hukum itulah pilihan kita. Itulah sejarahnya mengapa kita harus tetap melaksanakan pilkada secara langsung, karena kita tidak bisa lagi memutar jarum sejarah, perdebatan sudah selesai," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI