Suara.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengingatkan pemerintah bahwa Covid-19 sudah menjangkiti sejumlah sebagian calon dan penyelenggara pilkada. Menurut dia perkembangan ini harus menjadi pertimbangan untuk menunda pilkada yang rencananya diselenggarakan Desember nanti.
"Dua anggota KPU dan satu anggota Bawaslu sudah positif Covid-19. Termasuk juga sejumlah penyelenggara daerah di KPU Agam, Sibolga, Tangsel, dan lain-lain. Termasuk klaster Bawaslu di Boyolali yang jumlahnya 103 lebih," kata Titi Angraini, Jumat (18/9/2020).
Itu sebabnya, menurut Titi Anggraini, pilkada sebagai medium pengendalian Covid-19 adalah terbukti tidak logis.
Dikatakan, calon dan penyelenggara pemilu yang terinfeksi, juga angka positif Covid-19 di Indonesia yang terus meroket merupakan alasan kuat bagi KPU, pemerintah, dan DPR untuk menunda pilkada 2020 sampai jumlah kasus positif Covid-19 melandai atau berkurang signifikan secara konsisten.
Baca Juga: Ketua KPU Hingga Cakada Positif Covid-19, Opsi Pilkada Ditunda Sudah Ideal
"Atau setidaknya ditunda sampai tengah 2021," kata Titi Anggraini.
Ketua KPU Arief Budiman yang hari ini terkonfirmasi positif Covid-19, kata Titi Angraini, menunjukkan pilkada dengan segala aktivitas interaksi yang harus dijalani penyelenggara nyata membawa risiko.
"Perlahan terus bertambah yang terpapar Covid-19. Yakin pilkada kita sehat?" kata dia.
Titi Anggraini mendoakan Arief Budiman segera melewati masa isolasi mandiri dan dapat kembali beraktivitas.
"Mendoakan Pak Arief Budiman segera sehat kembali. Semoga Allah memberikan segala perlindungan terbaik untuk semua penyelenggara pemilu dan rakyat Indonesia," kata Titi Anggraini.
Baca Juga: Gelisah Berlaga di Stadion Kosong, Bruno Fernandes Ngadu ke Ronaldo
Menurut Titi Anggraini perkembangan ini makin relevan menunda pilkada dan memusatkan segala konsentrasi untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Survei: publik ingin ditunda
Publik meminta agar pilkada serentak ditunda di tengah situasi pandemik Covid-19 dan pro dan kontra terkait diketatkannya pembatasan sosial berskala besar.
"Temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden, karena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru Covid-19," kata Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
Sementara itu, sebanyak 12,1 persen lebih memilih pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau berisiko tinggi.
Sedangkan yang menginginkan Pilkada tetap dilanjutkan sesuai jadwal sebanyak 10,6 persen, dan sisanya 4,9 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab. Pilkada sendiri sudah ditunda dari jadwal sebelumnya pada 9 September 2020.
Menurut dia, pada tahapan awal seperti pendaftaran bakal calon sudah menimbulkan kerumunan massa pendukung, apalagi nanti memasuki masa kampanye.
Pilkada 2020 akan diselenggarakan 270 daerah, mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Setidaknya ada 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah pada 9 Desember 2020.
"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujarnya.
Sedikitnya 63 orang bakal calon kepala daerah diketahui positif Covid-19, dan jumlahnya masih terus bertambah. Demikian pula dengan penyelenggara pemilu, dari komisioner KPU dan KPUD, Bawaslu, hingga petugas di tingkat bawah yang terjangkit.
Opsi protokol kesehatan dalam Pilkada diragukan efektivitas-nya, terbukti dari banyaknya pelanggaran yang ada.
Dendik mengatakan tanpa ada pilkada saja penyebaran virus masih terus berlangsung, apalagi bila pilkada tetap diselenggarakan.
"Dengan pola kampanye yang masih mengandalkan pengumpulan massa, virus akan lebih cepat menular. Dampaknya daerah-daerah tersebut bisa menerapkan kembali PSBB yang berujung pada hancurnya perekonomian dan penghidupan masyarakat," tutur Dendik.
Survei Polmatrix Indonesia dilakukan pada 1-10 September 2020, dengan jumlah responden 2.000 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
Metode survei dilakukan dengan menghubungi melalui sambungan telepon terhadap responden survei sejak 2019 yang dipilih secara acak. Margin of error survei sebesar ±2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.