Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Setelah mereka menang, akan lahir korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan, kata Mahfud, lebih berbahaya dari korupsi duit.
Ketika menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertajuk Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi, Jumat (11/9/2020), yang dapat ditonton publik melalui kanal Youtube Pusako FH Unand, disebutkan, korupsi kebijakan itu bisa bebentuk lisensi pengusaan hutan, lisensi penguasan tambang, dan lain-lain yang tumpang tindih.
Itulah sebabnya, Mahfud meminta jangan biarkan praktik semacam itu terjadi sehingga merusak tatanan. Dia ingatkan, tujuan pilkada itu untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas serta menjauhkan dari korupsi.
Pernyataan Mahfud ditanggapi Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain dengan pertanyaan yang menjurus.
Baca Juga: Simulasi Pencoblosan Pilkada Dinilai Diskriminatif ke Disabilitas
"Gempar...! Mahfud MD: 92 persen kepala daerah dibiayai cukong. Kemudian membayarnya dengan kebijaksanan saat menjabat. Republik cukong dong... O, ya prof, presidennya dulu dibiayai cukong juga, kah...? Nanya..." kata Tengku melalui akun Twitter yang dikutip Suara.com.
Ketika memberikan pernyataan itu, Mahfud tidak menyebutkan siapa saja cukong yang bermain mata dengan calon kepala daerah.
Menurut Tengku, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jauh lebih berani mengungkap cukong ketimbang Mahfud.
"Ahok malah lebih berani ungkapkan perihal cukong dibandingkan Profesor Mahfud MD...? Hemm..." kata Tengku.
Tengku memposting link berita media online untuk memperkuat pernyataannya.
Baca Juga: Kekuatan Partai Nggak Selalu Linear Sama Perolehan Suara Peserta PIlkada
Sama-sama ada money politics
Dalam acara yang berbeda, Mahfud menilai pilkada yang diselenggarakan secara langsung atau lewat DPRD sama-sama berpotensi terjadi politik uang.
Dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal yang diselenggarakan oleh MMD Initiative di Jakarta, Mahfud mengatakan potensi terjadinya politik uang pada dua sistem pemilihan itu sama saja hanya berbeda modelnya saja.
"Sama-sama ada money politics-nya, mau eceran atau mau borongan kan begitu, kan sama-sama tidak bisa dihindari," kata dia dalam laporan Antara.
Mahfud mengatakan ketika adanya perdebatan pilkada harus langsung atau tidak sudah pernah menyampaikan, bahkan ditulis di keputusan MK bahwa potensi politik uang di pilkada sama saja.
"Kalau pilihan langsung kepada rakyat itu money politics-nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan, bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang ini, bayar ke botoh-botoh, pada rakyat pakai amplop satu-satu," katanya pula.
Menko Polhukam itu juga menjelaskan pengalamannya waktu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, ia menemukan kecurangan dalam pilkada, kecurangan-kecurangan yang luar biasa, seperti penggunaan dana pemerintah oleh petahana di masa lalu, hingga bermacam-macam kejadian kriminalitas.
"Kalau nggak salah ada 12 jenis pelanggaran pilkada mulai dari pidana sampai administratif," katanya lagi.
Menurutnya, karena hal itu pada waktu itu memang ada pemikiran soal kemaslahatan, sehingga tercetus pilkada sebaiknya kembali ke DPRD.
Namun setelah itu, dalam prosesnya Indonesia memilih, pilkada digelar secara langsung dan dipilih oleh rakyat bukan DPRD, dengan pertimbangan sejumlah hal-hal positif yang didapat dari sistem tersebut.
"Jadi itu sudah final secara hukum itulah pilihan kita. Itulah sejarahnya mengapa kita harus tetap melaksanakan pilkada secara langsung, karena kita tidak bisa lagi memutar jarum sejarah, perdebatan sudah selesai," ujarnya.