"Dari sini saja, sudah melanggar dua undang-undang sekaligus. Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-undang Penanggulangan Bencana," imbuhnya.
Dengan adanya kesemrawutan penanganan Covid-19 di tingkat pusat, tak heran pemerintah daerah juga ikut kacau dalam mengambil kebijakan menangani Covid-19 di daerah mereka.
"Dari situ sudah terlihat kekacauan, leading sectornya tidak jelas. Jangan salahkan pemerintah daerah kacau dalam pengambilan kebijakan," ungkap Refly Harun.
Meski demikian, Refly juga menyoroti langkah Anies dalam memutuskan PSBB total yang mulai berlaku 14 September 2020. Sesuai aturan, Anies memang seharusnya meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Kesehatan.
"Tapi jangan lupa, DKI pernah menerapkan PSBB. Persoalannya apakah ketika akan menerapkan PSBB kembali, harus izin lagi ke Menteri Kesehatan? Atau kah izin yang pertama saja? Ya menurut saya pertama saja lah izinnya," tutur Refly harun.
Refly juga menilai langkah Anies dalam mengambil kebijakan PSBB total perlu dipahami oleh publik. Ia bertindak lebih dulu agar tak banyak korban berjatuhan.
"Sebab menunggu izin PSBB dari Menkes, lama birokrasinya," ucapnya.
Refly menjelaskan, pemerintah pusat bisa melakukan veto jika tidak menyetujui kebijakan PSBB total yang dikeluarkan Anies.
Namun, ia berpesan pemerintah pusat bisa melihat kondisi objektif dan tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Baca Juga: Anies Dihantam, Rizal Ramli: Bung Airlangga Jangan Suudzon dan Cetek
"Kita harus lihat kondisi objektifnya, janganhanya main kekuasaan. Kalau memang main kekuasaan, jatuhnya sengketa itu ke MK dan akan diputuskan nantinya," pungkasnya.