Suara.com - Sejumlah pengamat politik mengkritik perilaku bakal pasangan calon (paslon) yang tidak memperhatikan protokol kesehatan saat proses pendaftaran Pilkada Serentak 2020, pada 4 - 6 September 2020. Mereka dinilai tidak mencerminkan keteladanan dan telah mencoreng etika publik.
Hal ini dikatakan oleh Ari Nurcahyo, dari PARA Syndicate, saat diskusi kritis secara daring online dengan tema “Pilkada Sehat dan Covid-19, Siapa Peduli?"
“Saya mengatakan siapa yang peduli, ini cermin bahwa hari ini, demokrasi kita melihat para paslon itu kan calon pemimpin, calon pemimpin menurut saya, tidak mencerminkan, tidak melakukan teladan dan etika publik. Mereka baru pasangan calon, tetapi tidak menaati aturan terkait protokol kesehatan,” kata Ari, Jakarta, Selasa (8/09/2020).
Selain Ari, hadir sebagai nara sumber acara tersebut, antara lain Jojo Rohi, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP); Aditya Perdana, Pusat Kajian Politik FISIP UI (Puskapol UI); Jeirry Sumampow, Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia); Lucius Karus, Forum Masyarakat Perduli Parlemen (FORMAPPI); Ray Rangkuti, Lingkar Madani, (LIMA); Alwan Ola Riantoby, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, (JPPR); Arif Susanto, Exposit Strategic; dan Erik Kurniawan, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD).
Baca Juga: Kemendagri Larang Calon Kepala Daerah Kampanye dengan Kerahkan Massa
Ari Nurcahyo mengatakan, pertanyaan “Pilkada Sehat –Covid-19, Siapa Peduli?” merupakan cerminan calon pemimpin masa kini yang mesti menjadi teladan masyarakat terkait kepedulian taat protokol kesehatan dan juga pengujian terhadap sense of crisis.
Menurutnya, pengumpulan massa yang terjadi pada tahap pendaftaran Pilkada, disebabkan oleh perilaku paslon untuk “show off power” atau ingin memamerkan seberapa besar kekuasaan/kekuatannya.
Pendapat tersebut juga diakui Jojo. Show off power kepada lawan politik merupakan metode purba yang mesti diperbaharui, karena tidak sesuai dengan kondisi sekarang di tengah pandemi Covid-19.
“Kerumunan massa adalah salah satu bentuk show off power, sebagai komunikasi politik untuk menunjukkan seberapa besar kekuatan dia kepada lawannya. Nah, itu naluri purba komunikasi politik. Mungkin naluri purba inilah yang menggerakkan para calon untuk menggunakan kerumunan massa. Sebenarnya kerumunan massa, menurut saya cara yang agak nggak up to date, agak ketinggalan zaman. Banyak cara lain tanpa harus menggunakan kerumunan massa,” tandasnya.
Sementara itu, menurut Aditya, situasi saat pendaftaran cukup ironi karena masih banyak yang belum taat protokol kesehatan, sehingga mesti menjadi evaluasi bersama. Kebijakan yang ketat perlu dibuat, lantaran Pilkada tetap harus berjalan.
Baca Juga: Izak Samuel Ongge, Pemuda Papua Berkarier Cemerlang di Kemendagri
“Saya dengar, pihak Bawaslu, KPU dan Kemendagri, serta aparat keamanan sudah melakukan evaluasi. Oleh karena itu, saya berharap, para penyelenggara dan pihak stakeholder yang berkepentingan tentang Pilkada segera menyampaikan langkah-langkah strategis apa yang akan dilakukan dalam waktu dekat karena sudah tidak bisa ditarik balik,” ujarnya.
Jeirry menambahkan, fenomena yang terjadi pada tahap pendaftaran, dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian paslon dengan keselamatan para pendukungnya yang tidak patuh protokol kesehatan.
“Ini harus kita tegaskan dan tentu pemimpin model begini mestinya kita evaluasi kembali untuk menjadi pemimpin daerah,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Lucius mengatakan, sukses dan tidaknya Pilkada Serentak 2020 merupakan tanggung jawab besar yang diemban oleh pihak penyelenggara. Maka dibutuhkan evaluasi secara mendetail untuk tahapan selanjutnya, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada tahap pendaftaran dapat menjadi catatan serius.
“Melihat apa yang terjadi, kita dapat menilai kualitas pemimpin macam apa yang akan dilahirkan dari proses Pilkada pada tahun 2020 ini. Rupanya calon-calon pemimpin yang akan dipilih di Pilkada 2020 adalah orang yang sejak awal tidak menjadikan rakyat sebagai komoditi politik. Untuk itu perlu menyerukan kepada publik, agar jangan memilih pemimpin yang tidak peduli dengan rakyatnya,” terangnya.
Adapun teguran langsung dari Kemendagri dan Bawaslu semestinya menyadarkan bakal paslon bahwa pemerintah tidak sedang main-main. Ray berharap, pelanggaran protokol kesehatan tidak terulang kembali ditahap Pilkada selanjutnya, karena semua berkepentingan agar Pilkada berjalan sukses dan lancar.
“Saya kira, tidak perlu menutup diri untuk membuat opsi. Kalau memang situasinya tidak terkendali, kita semua berkepentingan agar Pilkada ini tidak tertunda. Kita semua harus punya komitmen yang kuat bahwa protokol Covid-19 itu benar dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ini,” kata Ray.
Sementara itu, Alwan mengatakan, sangat perlu bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang menyatakan paslon akan didiskualifikasi apabila tidak taat mengikuti protokol kesehatan dalam proses tahapan Pilkada.
“Saya berharap, penting untuk mengeluarkan satu peraturan atau kemudian semacam Perpu atau semacam sebuah peraturan yang emergency, bahwa ada diskualifikasi bagi pasangan calon yang tetap tidak melakukan protokol kesehatan, didiskualifikasi saja, sehingga ada efek jera,” ujarnya.
Di balik semua itu, ada banyak kisah sukses dan juga gagal dalam penyelenggaraan Pemilu di seluruh dunia saat ini. Arif tetap optimistis, asalkan ada kerja sama yang baik dari semua pihak, sehingga Indonesia tidak akan termasuk dalam daftar negara gagal menyelenggarakan Pemilu di tengah pandemi Covid-19.
“KPU dan para penyelenggara Pilkada menghadapi pertaruhan besar, tidak hanya kredibilitas penyelenggara, tidak hanya menyangkut bakal calon tetapi juga nama baik Indonesia yang dipertaruhkan,” terangnya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang harus direfleksikan menurut Erik terkait hal yang terjadi pada tahapan pendaftaran. Pertama, komitmen terhadap keselamatan warga, dan kedua, komitmen terhadap demokrasi.
“Kasus yang terjadi kemarin tidak menurunkan atau bahkan menghilangkan komitmen kepada dua hal itu. Jangan kemudian suasana ini membuat saling tuding dan saling menyalahkan," ujarnya.