Sebab Takluknya PDIP di Tanah Minang: Ideologi atau Luka Era Bung Karno?

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Selasa, 08 September 2020 | 15:49 WIB
Sebab Takluknya PDIP di Tanah Minang: Ideologi atau Luka Era Bung Karno?
Ilustrasi. (ANTARA/Andi Firdaus).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kekalahan demi kekalahan PDIP di Sumatera Barat dalam sejumlah politik kontestasi pemilu tak hanya disebabkan faktor ideologi, seperti agama atau Pancasila.

Budayawan minang Edy utama mengatakan, keoknya partai banteng moncong putih di Sumbar juga disebabkan sejarah masa lalu yang digores oleh Presiden pertama Indonesia Sukarno di tanah Minang.

Presiden Sukarno memerintahkan operasi militer di Sumbar dalam menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir tahun 1950-an.

Pengerahan kekuatan militer itu menjadi awal perpecahaan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam di masyarakat Sumbar kepada Sukarno yang berimplikasi kepada PDIP, representasi dari Sukarno, tambah Edy.

Baca Juga: Astaga! Dua Bakal Calon Bupati di Sumbar Positif Covid-19

Padahal sebelum PRRI terjadi, sejarawan dari Universitas Andalas Israr Iskandar menyebut, hubungan masyarakat Minang dengan Sukarno sangat erat, seperti bersama Mohammad Hatta memimpin Indonesia, dan bekerja sama dengan pahlawan nasional asal Minang lainnya dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Hubungan PDIP dan Sumbar kembali menjadi sorotan setelah pernyataan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani yang mengaitkan lemahnya dukungan terhadap PDIP di Sumbar dengan Pancasila.

"Semoga Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," kata Puan.

Pernyataan ini berbuntut panjang, termasuk mengubah konstelasi pilkada serentak 2020, yang membuat PDIP tak jadi berlaga di pilkada Provinsi Sumbar.

Politikus PDIP di Sumbar menyatakan ada 'narasi PDIP sebagai partai non-Islam yang terus didengungkan' di daerah itu.

Baca Juga: Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumbar Terendam Banjir

Sementara politikus PDIP berdarah Minang, Arteria Dahlan meminta masyarakat Minang untuk menahan diri dan tidak dipecah-belah serta lebih arif dalam menyikapi pernyataan Puan.

Sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengaku bingung dan bertanya-tanya dengan rentetan kekalahan yang dialami partainya di tanah Minang tersebut.

"Saya pikir kenapa ya, rakyat di Sumbar itu sepertinya belum menyukai PDI Perjuangan, meskipun sudah ada daerah yang mau ada DPC atau DPD," kata Megawati saat memberikan pengarahan kepada pasangan calon Pilkada 2020, Rabu (02/09).

Sukarno di tanah Minang: Dari kemesraan berujung trauma

Hubungan antara Sukarno dan masyarakat Sumbar luar biasa terukir hangat dan dekat di awal perjuangan kemerdekaan sampai pada pertengahan tahun 1950-an, kata Budayawan Minangkabau, Edy Utama.

Edy menyebut banyak pahlawan nasional, berasal dari Sumbar, memiliki hubungan dekat dengan Sukarno dan berjuang bersama dalam merebut hingga mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bahkan menjadi wakil presiden pertama yang mendampingi Sukarno, yaitu Mohammad Hatta.

Namun hubungan itu berakhir luka yang dalam ketika Sukarno mengerahkan kekuatan militer di Tanah Minang.

"Operasi militer terhadap PRRI menjadi awal perpecahan dan berdampak teramat besar pada Sumbar, pada orang Minangkabau. Meninggalkan luka yang dalam dan fatal yang sampai sekarang tidak bisa dilupakan," kata Edy kepada wartawan Febrianti di Sumatera Barat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (6/9).

Berimbas ke PDIP: 'Berujung kekalahan demi kekalahan'

Luka tersebut, kata Edy, berdampak langsung pada dukungan masyarakat Sumbar kepada apapun yang terafiliasi dengan Sukarno, termasuk "PDIP yang dianggap sebagai representasi Sukarno, sampai sekarang PDIP sulit sekali diterima di Sumatera Barat," kata Edy.

Hal itu dapat terlihat dari kekalahan demi kekalahan yang dialami PDIP dalam pemilu di Sumbar baik di tingkat DPRD, DPR RI, hingga pilpres, tambah Edy.

Dari empat kali Pemilihan Legislatif (pileg) DPRD Sumbar tahun 2004 hingga 2019, PDIP hanya mengantongi rata-rata tiga sampai empat kursi, jauh dibandingkan Golkar yang memperoleh 16 kursi (Pileg tahun 2004), Demokrat 14 kursi (Pileg 2009), dan Gerindra 14 kursi (Pileg 2019).

Sementara di tingkat DPR RI, dari empat kali Pileg 2004 hingga 2019, PDIP hanya mendapatkan satu kursi yaitu pada Pileg 2014, padahal PDIP menjadi pemenang pemilu pada Pileg tahun 2014 dan 2019.

Senada dengan itu, di tingkat Pilpres 2014 dan 2019, calon presiden dari PDIP, yaitu Presiden Joko Widodo, harus "gigit jari" di Sumbar.

Perjalanan pilihan politik masyarakat Minang

Sebelum peristiwa PRRI, seperti pada Pemilu 1955, dukungan politik masyarakat Minang sangat dinamis, dan beragam ujar Edy.

"Bahkan PKI dapat posisi ketiga setelah Masyumi dan Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dan itu mengalahkan Partai Murba yang didirikan orang Minangkabau sendiri [Tan Malaka], dan PSI yang didirikan Sutan Sjahrir," kata Edy.

Namun, setelah peristiwa PRRI dan memasuki Orde Baru, sejarawan dari Universitas Andalas Israr Iskandar mengatakan pilihan politik masyarakat Minang menjadi lebih terpola, yaitu menarik dukungan pada partai yang terkait dengan Sukarno dan menjatuhkan pilihan pada Partai Golkar.

"Golkar menjadi pilihan karena merasa bisa menyelamatkan mereka, anti komunis dan berorientasi pada pembangunan. Sumbar waktu itu habis terpuruk karena PRRI. Jadi makanya [Golkar] menang sampai tujuh kali pemilu, walaupun cukup banyak juga rekayasa politiknya," kata Israr.

Masuk ke era reformasi, dukungan masyarakat Minang masih mengalir pada Golkar pada Pileg 1999 dan 2004.

Lalu beralih ke Partai Demokrat pada Pileg 2009, dan Gerindra pada Pileg 2014 dan 2019.

"Setelah reformasi, di Sumbar ini, partai pemenangnya terkait dengan Orde Baru. Kenapa memilih Prabowo atau Gerindra kemarin? Karena ada hubungan dengan romantisme Orba dimana pembangunan cukup signifikan saat itu dibandingkan Orde Lama yang hancur lebur akibat PRRI. Jadi romantisme itu masih ada sampai sekarang," kata Israr.

Untuk itu, Israr tidak setuju dengan pernyataan Puan Maharani yang mengaitkan dukungan politik masyarakat Sumbar dengan pemahaman akan ideologi Pancasila.

"[Sumbar] Pasti mendukung Pancasila, tiga dari sembilan perumus Pancasila itu orang Minang, Agus Salim, Hatta dan Yamin. Jadi tidak ada hubungannya antara pilihan politik dengan dukungan terhadap Pancasila," kata Israr.

Terdapat beberapa pahlawan nasional yang berasal dari tanah Minang, seperti Tuanku Imam Bonjol, Abdul Muis, Agus Salim, Ruhana Kuddus, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ilyas Yacoub, Adnan Kapau Gani, Hazairin, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Rasuna Said, dan lainnya.

Nama-nama tersebut bahkan diabadikan salah satunya melalui penamaan jalan-jalan protokol di wilayah Indonesia.

Protes bermunculan: 'Tidak ada hubungan dengan Pancasila'

Seorang warga Bukittinggi, Sumbar, Rezki Khainidar memandang bahwa pernyataan Puan Maharani sebenarnya akan biasa-biasa saja jika diungkapan dalam suasana normal atau tidak menjelang pilkada pada Desember mendatang.

"Tapi setelah berkembang macam-macam, saya pikir pendapat yang merespon itu sudah memanfaatkan situasi ini untuk menyerang, sudah jelas dari pihak sebelah mana tentu juga untuk kepentingan pilkada," kata Rezki.

Namun demikian, Rezki tetap menyayangkan pernyataan Puan tersebut. "Ngapain ngomong begitu? Sebagai Ketua DPR RI, dia [Puan] kurang sensitif, karena seperti memberi api saja di lahan kering. Orang lagi suka berantem, dan dia menambah bahan," kata Rezki.

Rezki menjelaskan, masyarakat Sumbar memilih calon pemimpin tidak sekedar melihat partai dan ideologi semata. "Kami, seperti saya, pemilih rasional. Saya melihat orangnya, bisa membawa perubahan untuk kebaikan, siap tidak popular, dan tidak serakah," kata Rezki.

Senada dengan itu, Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumbar Irsyad Syafar memprotes pernyataan Puan yang tendensius melihat masyarakat Sumbar.

"Di Sumbar tidak ada satu partai pun yang menang telak, bergantian pemenangnya, sekarang Gerindra, sebelumnya Golkar, Demokrat, dan PAN. Jadi masyarakat Sumbar sangat independen dan menunjukan tingginya tingkat demokrasi, tidak ada kaitannya dengan Pancasila," kata Irsyad.

"Terlebih lagi, kalau ada yang mengatakan di Sumbar terjadi politik identitas, partai-partai yang suaranya besar itu dari partai nasionalis di sini seperti Gerindra, Golkar, bukan PKS atau PPP yang juara di sini," kata Irsyad.

Ucapan Puan juga berbuntut panjang, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar di pilkada serentak 2020, Mulyadi-Ali Mukhni kecewa dan mengembalikan surat dukungan dari PDIP, sehingga pasangan itu hanya diusung Partai Demokrat dan PAN, dan PDIP pun memutuskan untuk menjadi penonton dalam Pilkada Provinsi Sumbar.

Ada pula, Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang (PPMM) melaporkan Puan ke Bareskrim Polri, walaupun laporan itu ditolak karena tidak memenuhi unsur aduan.

Sebelumnya, Puan Maharani mengatakan, "semoga Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," ketika menyoroti minimnya dukungan PDIP di Sumbar.

Apa kata PDIP?

Ketua PDIP Kota Padang Albert Hendra Lukman menyebut kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh PDIP tidak lepas dari hembusan isu-isu negatif yang dilakukan lawan politik terhadap PDIP, utamanya adalah mengidentikkan PDIP dengan PKI dan mengulang-ulang narasi perlakuan masa lalu Sukarno di Sumbar.

"Yang diekspos itu PDIP adalah partai Bung Karno dan Bung Karno dianggap punya catatan buruk di masa lalu dengan Sumbar, seperti perseteruan Bung Karno dengan Hatta dan Buya Hamka."

"Kemudian digiring ke isu PRRI kembali, diekspos sekarang itu adalah bagaimana rakyat Minang dihabisi, padahal PRRI itu adalah ketidakpuasan segelintir orang saja. Akibatnya PDIP jadi kena karena dianggap anak ideologi Bung Karno, dan narasi itu selalu ditampilkan," kata Albert.

Padahal di awal kemerdekaan, kata Albert, Sukarno banyak mengajak tokoh-tokoh Minang untuk berjuang bagi Indonesia, dan terjalin hubungan mesra Sukarno dengan tokoh Minang, namun fakta-fakta itu seakan disimpan rapat.

Albert juga menyebut, sejak Pilkada DKI 2017 lalu, politik identitas mulai memanas di Sumbar yang menyebabkan caleg dari PDIP berguguran.

"Narasi penista agama [kasus Ahok] dibawa-bawa, bahkan ada demo anti Ahok di Sumbar, apa hubungannya? apalagi PDIP partai nasionalis yang tidak melihat agama, suku, dan kelompok. Tapi bagi lawan politik, PDIP dinarasikan sebagai partai non-Islam, partai Kristen, Partai Katolik, kan begitu," katanya.

"Narasi isu itu bahkan dimainkan dari masjid ke masjid, dari surau ke surau, melalui majelis taklim, itu sangat luar bisa, dan kami di sini lemah untuk menangkal isu itu," kata Albert.

Sementara itu terkait dengan pernyataan Puan Maharani, Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto meluruskan bahwa, "yang dimaksudkan Mba Puan dan sebagaimana seluruh kader partai mengingatkan bagaimana Pancasila dibumikan tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi di Jawa Timur, di seluruh wilayah Republik Indonesia, Pancasila harus dibumikan, Ibu Mega begitu kagum dengan Sumbar, demikian juga Mba Puan," kata Hasto.

Tambah Hasto, "jadi yang dimaksud pembumian Pancasila di Sumbar itu lebih kepada aspek kebudayaan, nasionalisme, juga menyentuh hal-hal di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara."

Politikus PDIP berdarah Minang, Arteria Dahlan juga meminta masyarakat Minang untuk menahan diri dan tidak dipecah-belah serta lebih arif dalam menyikapi pernyataan Puan.

"Saya pastikan tidak ada maksud sedikitpun dari Mba Puan untuk menyinggung perasaan warga masyarakat Minang, baik yang berada di Sumbar maupun di tanah rantau. Mba Puan itu orang Minang, ayahnya Alm. Pak Taufiq beliau itu Datuk, Datuk Basa Batuah, orang Batipuh, kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat bahkan Ibunya, ibu Megawati Soekarnoputri pun memiliki darah minang bergelar Puti Reno Nilam, nenek beliau Ibu Fatmawati, anak dari seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu," kata Wakil Ketua Umum DPP Ikatan Keluarga Minang se-Indonesia tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI