Suara.com - Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mengampuni marinir Amerika Serikat, Kopral Lance Joseph Scott Pemberton, yang ditahan akibat membunuh wanita transgender enam tahun lalu.
Menyadur ABC, Selasa (8/9/2020), keputusan Duterte memicu kecaman dari para aktivis yang menggambarkan langkah tersebut sebagai "ejekan terhadap keadilan".
Kopral Lance Joseph Scott Pemberton dipenjara hingga 10 tahun pada tahun 2015 karena membunuh Jennifer Laude di dekat bekas pangkalan angkatan laut AS.
Juru bicara kepresidenan Harry Roque, yang pernah menjabat sebagai pengacara untuk keluarga Laude, mengatakan pengampunan presiden berarti segera membebaskan Pemberton dari tahanan.
Baca Juga: Arab Saudi akan Berdamai dengan Israel Jika Palestina Diakui Sebagai Negara
"Presiden telah menghapus hukuman yang harus dijatuhkan kepada Pemberton," kata Roque.
Pengadilan menandatangani pembebasan awal Pemberton minggu lalu karena perilaku yang baik, tetapi hal ini ditolak oleh pengacara Laude.
Pengacara Pemberton, Rowena Garcia-Flores, mengatakan kliennya ingin meminta maaf kepada keluarga Laude.
Dia kemungkinan akan dikeluarkan dari Marinir karena keyakinannya dan rencananya untuk bekerja di AS, tambah Garcia-Flores.
Laude, transgender asal Filipina, ditemkan tewas di sebuah kamar motel di kota Olongapo, barat laut Manila, pada Oktober 2014.
Baca Juga: Polisi Berencana Pantau Karantina via Sosmed, Warganet Filipina Geram
Saat ditemukan, tubuhnya sudah setengah telanjang di mana kepalanya tertunduk ke dalam toilet.
Pemberton dilaporkan marah dan mencekiknya hingga tewas setelah tahu Laude adalah transgender. Keduanya sempat check in ke dalam kamar.
Atas perbuatannya itu, Pemberton telah menjalani hukuman penjara enam sampai sepuluh tahun, sebelum kini mendapat pengampunan dari Presiden Duterte.
Salah satu pengacara Laude, Rommel Bagares mengaku kecewa dengan keputusan Duterte mengampuni Peberton. Dia mempertanyakan komitmen Duterte terhadap kebijakan luar negeri yang dia tegaskan tidak tergantung pada kepentingan AS.
“Kami melihat kesejahteraan rakyat kami dikesampingkan,” katanya kepada radio DZBB.
Sebuah kelompok hak asasi manusia sayap kiri, Karapatan, segera mengutuk pengampunan itu sebagai "ejekan yang tercela dan tidak tahu malu terhadap keadilan dan penghambaan terhadap kepentingan imperialis AS".