Suara.com - Setelah dihujat, politikus Partai Demokrat Cipta Panca Laksana meminta maaf kepada publik terkait ucapannya yang kontroversial di Twitter yang ditujukan kepada calon wakil wali kota Tangerang Selatan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
"Sehubungan twit pribadi saya mengenai paha mulus cawalkot Tangsel sudah terlanjur viral, dengan ini saya mendelete twit tersebut. Mohon maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan twit tersebut. Memang gaya saya di twitter seperti itu. Sekali lagi mohon maaf," kata Panca melalui akun Twitter @panca66, kemarin.
Walau sudah meminta maaf dan menghapus tweet, Panca masih harus tetap menerima olok-olok dan kritik dari publik.
Kritik, antara lain disampaikan mantan politikus Partai Demokrat yang kini bergabung dengan PDI Perjuangan Ruhut Sitompul.
Baca Juga: Rekam Jejak Kontroversi Panca PD: Duel di GBK hingga Kicauan Paha Mulus
"Sakitnya tidak seberapa, tapi malunya ini, ini ucapan yang tepat untuk kader kebanggaan Partai Demokrat Panca Laksana yang mencoba ngeles mengenai paha mulus, walaupun akhirnya minta maaf, tapi RSD tidak puas “TwittMu HarimauMu,” kata Ruhut melalui akun twitter @ruhutsitompul, Selasa (8/9/2020).
Dalam kritik yang disampaikan sebelumnya, Ruhut mengaitkan mental kader dengan target partai untuk bisa memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden tidak berjalan beriringan.
"Gimana partainya mau menang dan mengusung capres atau wapres dalam pemilu 2024 kalau kadernya yang juga pengurus pusat nggak kuat lihat paha mulus, curhat lagi di medsos, jadi betul juga apa yang dikatakan Bu Puan Maharani mengenai Sumbar, kebetulan beliau berasal dari sono," kata Ruhut.
Ucapan Panca menjadi polemik panas dalam beberapa hari terakhir.
Menanggapi pernyataan netizen yang mencoba mengingatkan Rahayu Saraswati agar mengambil sisi positif dari kritik tentang cara berpakaian, Partai Gerindra melalui akun Twitter resmi @Gerindra menekankan bahwa mesti dibedakan antara kritik, pernyataan, dan pelecehan.
Baca Juga: Dilecehkan karena Celana Pendek, Rahayu Saraswati Beri Jawaban Telak
Menurut Partai Gerindra, ketika yang disorot adalah soal fisik seseorang dalam konteks "paha mulus," itu bukan termasuk bagian dari kritik.
"Saudara juga harus bisa memahami, apa itu kritik, apa itu pernyataan, apa itu pelecehan. Jika kritik bisa disampaikan membahas pakaian, bukan bagian tubuh seperti 'paha mulus'. Partai Gerindra selalu terbuka dengan kritik dan masukan jika disampaikan secara benar," kata Gerindra.
Jawaban Rahayu Saraswati
Rahayu Saraswati yang merupakan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu mengatakan sangat menghargai pendapat mengenai bagaimana seharusnya seseorang berpakaian ketika berolahraga. Namun, setiap orang juga memiliki hak untuk mengenakan pakaian yang dihendaki.
"Saya percaya bahwa semua orang (laki-laki maupun perempuan) punya hak untuk berpakaian sesuai dengan kehendaknya masing-masing tanpa mengalami pelecehan, diskriminasi, nyinyiran dan lain-lain," kata Saras dalam pernyataan tertulis yang diterima Suara.com, Senin (7/9/2020).
Ada banyak deretan kasus, meskipun perempuan memakai pakaian sopan, tetap mengalami pelecehan seksual.
Pakaian yang dikenakan seseorang tidak bisa serta merta menentukan akhlak seseorang.
Banyak orang yang terlihat luar biasa alim, tetapi di baliknya, kelakuan tidak sesuai dengan penampilannya.
"Sebaliknya, saya tahu orang-orang yang seringkali dipandang sebelah mata, seperti kawan-kawan yang bertato dari kepala sampai kaki, tetapi mereka adalah orang-orang dengan hati paling mulia yang memberikan perlindungan kepada anak-anak korban kekerasan," kata Saraswati.
Saraswati mengatakan pakaian yang dikenakannya selalu menyesuaikan kegiatan. Mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan ketika bertemu tokoh masyarakat dalam acara formil tentu kurang sopan.
"Tapi jika kita berolahraga saja sudah dihakimi, apa kabar para atlet perempuan di mana ada standar pakaian yang bisa memaksimalkan performanya? Apa dia juga akan dihakimi karena tidak sesuai dengan norma yang ditentukan orang lain?" ujar Saraswati.
Dia menyayangkan paradigma di tengah masyarakat yang lebih senang menyalahkan korban dibanding menanyakan akhlak pelaku yang menghakimi.