Suara.com - Banyak kalangan meragukan efektivitas kampanye pencegahan penyebaran Covid-19 yang dilakukan pemerintah Jakarta dengan cara memasang monumen peti mati di tempat umum atau warga yang melanggar aturan disuruh masuk ke peti mati.
"Ampe sekarang gua masih ketawa liat peti mati ini. Antara gila ma bodoh itu emang tipis batasnya," kata pengamat politik Denny Siregar melalui akun Twitter @Dennysiregar7 yang dikutip Suara.com.
Pemerintah Jakarta menggunakan berbagai cara untuk mengingatkan masyarakat agar selalu taat protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Misalnya, memberikan hukuman bagi warga yang melanggar protokol kesehatan, seperti di Pasar Rebo, Jakarta Timur, dengan cara disuruh berbaring di dalam peti mati.
Seperti diketahui, temuan kasus terkonfirmasi positif di Ibu Kota Negara ini naik terus setiap hari. Ini tentu sangat mengkhawatirkan, terutama bagi pemerintah provinsi. "Jakarta sekarang mengkhawatirkan, kenapa? Dalam tiga minggu terakhir, angka (kasus setiap hari) naik terus, artinya apa? Kita mendeteksi banyak, penularan juga terjadi angkanya banyak," kata Gubernur Jakarta Anies Baswedan kepada wartawan pada Kamis (3/9/2020).
Baca Juga: Bos Sinovac Sebut 90% Pegawai dan Keluarganya Telah Peroleh Vaksin Covid-19
Polemiknya tak kalah dengan ketika Anies meresmikan tugu peti mati di Danau Sunter.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad salah satu tokoh yang ikut mempertanyakan manfaat hukuman masuk peti mati.
"Mereka sebut ini hukuman? Ternyata akal ada dua jenis: akal tumpul dan akal tidak tumpul," kata Saidiman melalui akun Twitter @saidiman yang dikutip Suara.com.
Penulis buku berjudul A Man Called Ahok, Rudi Valinka, menilai hukuman semacam itu tak akan dianggap oleh warga. Dia kasih saran, hukumannya menjadi semacam tilang elektronik.
"Bikin tugu Peti Mati = bikin tugu motor kecelakaan. Bikin hukuman masuk peti mati = banyak ngeprank jadi pocong. Bikin foto bahaya Covid = foto serem di bungkus rokok. Kagak ada yang dianggap warga. Yang bener ini: CCTV tilang ETLE, denda dikirim langsung ini baru efektif bikin takut," kata Rudi Valinka melalui akun Twitter @kurawa. ETLE ialah electronic traffic law enforcement.
Baca Juga: Hasil Studi: Hampir Setengah dari Kasus Covid-19 Tanpa Gejala
ETLE memang sudah diberlakukan di Jakarta untuk membuat jera para pelanggar lalu lintas. Sistem ini bekerja lewat kamera pengawas. Setelah menyasar mobil, mulai awal 2020, sistem ini dikembangkan untuk menangkap pelanggaran yang dilakukan pengendara sepeda motor.
Apa sebenarnya tujuan hukuman masuk peti mati? "Beberapa kita minta untuk merenung di lokasi peti mati. Tujuannya menyadarkan kepada orang banyak bahwa COVID-19 itu masih ada dan bahaya," kata Wakil Camat Pasar Rebo, Santoso, di Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Kegiatan penertiban pengguna masker di Jalan Raya Bogor itu digelar dalam rangka mengantisipasi penularan Covid-19 di Jakarta.
Kegiatan tersebut melibatkan sejumlah petugas Satpol PP dan aparatur kecamatan setempat.
Masyarakat yang diketahui petugas melanggar protokol kesehatan langsung digiring menuju tenda posko.
Terhadap pelanggar ada tiga pilihan saksi yang bisa mereka jalani, pertama saksi sosial berupa membersihkan fasilitas umum selama satu jam.
Namun bila terbentur waktu, kata Santoso, pelanggar bisa memilih opsi kedua berupa denda sanksi maksimal Rp250 ribu.
"Atau kalau tidak ada uang, kita masukkan ke dalam peti mati. Kalau mereka merenung, menyadarkan kita semua, kita tertib atau akan berakhir di sebuah kotak mati," katanya.
Salah satu pelanggar protokol kesehatan berinisial FW (28) memilih sanksi masuk ke dalam peti jenazah untuk mempercepat proses hukuman. "Untuk mempersingkat waktu karena saya lagi antar barang. Yang kedua kan opsinya bayar denda, saya baru datang, belum ada duit," katanya dalam laporan Antara.
Selama berada di dalam peti jenazah pria tersebut wajib mengenakan rompi khusus "Pelanggar PSBB" serta menghitung mundur seratus angka.
Masyarakat yang diketahui petugas melanggar protokol kesehatan langsung digiring menuju tenda posko.
Terhadap pelanggar ada tiga pilihan saksi yang bisa mereka jalani, pertama saksi sosial berupa membersihkan fasilitas umum selama satu jam.
Namun bila terbentur waktu, kata Santoso, pelanggar bisa memilih opsi kedua berupa denda sanksi maksimal Rp250 ribu.
"Atau kalau tidak ada uang, kita masukkan ke dalam peti mati. Kalau mereka merenung, menyadarkan kita semua, kita tertib atau akan berakhir di sebuah kotak mati," katanya.
Salah satu pelanggar protokol kesehatan berinisial FW (28) memilih sanksi masuk ke dalam peti jenazah untuk mempercepat proses hukuman. "Untuk mempersingkat waktu karena saya lagi antar barang. Yang kedua kan opsinya bayar denda, saya baru datang, belum ada duit," katanya dalam laporan Antara.
Selama berada di dalam peti jenazah pria tersebut wajib mengenakan rompi khusus "Pelanggar PSBB" serta menghitung mundur seratus angka.