Suara.com - Kehadiran apa yang dituduh sebagai buzzerRp atau influencer pemerintah Presiden Joko Widodo sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari konteks pemilu presiden tahun 2019.
Waktu itu, kampanye dipenuhi "propaganda ala Rusia" yang dikenal dengan istilah "firehose of falsehood" atau "semburan api fitnah."
Menurut penjelasan pengamat politik dan ekonomi Rustam Ibrahim propaganda ala Rusia "menormalkan" kebohongan dalam politik.
Rustam menambahkan ini bukan sekedar kebohongan biasa para politisi dengan janji-janji politik yang sangat sulit dipenuhi (pemberi harapan palsu).
Baca Juga: KSP: Buzzer Merugikan, Silakan Diproses
Tapi, kata dia, kebohongan yang memang sengaja diciptakan, berupa informasi palsu (fake news) atau hoaks dengan maksud mempengaruhi opini publik.
Propaganda seperti itu dikembangkan berdasar teori Paul Joseph Goebbels, seorang menteri penerangan dan propaganda Jerman era Nazi Hitler. Kata-katanya yang terkenal adalah kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis akan diterima sebagai "kebenaran."
Kampanye hoaks memenuhi media sosial sepanjang pemilu presiden tahun 2019, terutama untuk menyerang kandidat petahana Joko Widodo. Misalnya, dengan mengangkat beberapa isu sensitif, seperti 10 juta tenaga kerja China masuk Indonesia dan tujuh kontainer surat suara sudah tercoblos sebelum pemungutan suara.
Bahkan, ketika itu muncul seorang aktivis yang rela menjadikan dirinya sebagai subyek sekaligus obyek hoaks dengan menyatakan telah dikeroyok sejumlah orang tidak dikenal yang menyebabkan mukanya lebam-lebam. Belakangan terungkap, lebam-lebam pada muka aktivis itu diakibatkan operasi sedot lemak.
"Hoax RS itu digunakan para pendukung Prabowo dengan mengkritik penegak hukum, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa "penganiayaan itu perbuatan biadab." Bukan hanya itu, demo besar-besaran disiapkan yang bisa berpengaruh besar terhadap elektabilitas Jokowi," kata Rustam.
Baca Juga: Tak Pakai Buzzer, KSP Jelaskan Soal Influencer dan Bayarannya
Meski beberapa politisi kemudian minta maaf, tapi pola hoaks itu dinilai Rustam masih tetap. Sejumlah orang melempar hoaks di medsos. Kemudian ada politisi, aktivis dan "intelektual" dengan berbagai argumen mencoba memberikan pembenaran sekurangnya membela hoax itu sebagai wujud kebebasan berekspresi.
"Mereka tentulah buzzer/influencer yang mencoba mempengaruhi opini/pilihan warga? Apakah dibayar atau sukarela? Wallahualam bissawab. Hoax bukan hanya ditujukan kpd pemerintah, KPU dan aparat penegak hukum, bahkan pribadi Jokowi sendiri. Beliau difitnah sebagai PKI anak China, dan sebagainya," kata dia.
Dikatakan Rustam, kebohongan luar biasa serta hujatan kepada Jokowi telah mendorong pendukung-pendukungnya sejak pemilu presiden 2014 bahu membahu memberikan pembelaaan melalui saluran media sosial. Mereka mencoba meluruskan hoaks yang muncul sambil "menyerang" pihak lawan.
"Mungkin ada saja yang menerima bayaran, tapi tidak sedikit bekerja sukarela," kata Rustam.
Setelah kemenangan Jokowi, menurut pengamatan Rustam, buzzer-buzzer penebar hoaks yang menyerang Jokowi sangat berkurang. Di pihak lain, buzzer pendukung Jokowi makin mendominasi media sosial, makin aktif melawan aktivis dan tokoh yang menyerang kebijakan pemerintah Jokowi, termasuk terhadap media.
"Oposan termasuk media yang gerah kemudian menuduh mereka sebagai buzzerRp/influencer yang dibayar. Soalnya ada yang punya kemampuan tinggi meretas situs-situs media, termasuk membongkar kehidupan pribadi/identitas akun-akun palsu dan tokoh-tokoh oposisi. Tapi apakah yang ini buzzer pemerintah? Wallahualam!" kata Rustam.