Suara.com - Isu sertifikasi penceramah atau dai kembali mengemuka di tengah kewaspadaan terhadap masuknya paham radikalisme di lingkungan masjid pemerintah dan BUMN lewat anak good looking.
Isu itu menjadi pembahasan luas di tengah khalayak media sosial. Tetapi kalau membaca penjelasan Kementerian Agama, ada yang kurang pas dalam narasi yang menyebutkan sertifikasi penceramah.
"Bukan sertifikasi penceramah, tetapi penceramah bersertifikat. Jadi tidak berkonsekuensi apapun," kata Direktur Jenderal Bimas Islam Kamaruddin Amin dalam Rapat Evaluasi Nasional Direktorat Penerangan Agama Islam di Jakarta sebagaimana dirilis situs Kementerian Agama.
Sekarang ini, Kementerian Agama sedang mempersiapkan penyelenggaraan program penceramah bersertifikat. Program ini didesain melibatkan banyak pihak, antara lain: Lembaga Ketahanan Nasional, Badan Pembina Ideologi Pancasila, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia.
Baca Juga: Bela Fachrul Razi, Ruhut: Menag Kok Kambuh Lagi, yang Kambuh Siapa?
Kamaruddin menjelaskan program penceramah bersertifikat merupakan arahan Wakil Presiden Maruf Amin, yang juga ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Tahun ini, target peserta program ini adalah 8.200 penceramah, terdiri 8.000 penceramah di 34 provinsi dan 200 penceramah di pusat.
Kementerian Agama melibatkan Lemhanas untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sementara keterlibatan BNPT untuk berbagi informasi tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia.
"Kehadiran BPIP untuk memberikan pemahaman tentang Pancasila, hubungan agama dan negara. Sementara MUI dan ormas keagakaab adalah lembaga otoritatif dalam penguatan di bidang Agama," kata Kamaruddin. Program ini akan digelar untuk semua agama.
Ditentang
Program penceramah bersertifikat mengundang reaksi keras dari tokoh agama Persaudaraan Alumni 212, seperti Novel Bamukmin. Sejak akhir tahun lalu, penolakan sudah disampaikan Novel Bamukmin.
Baca Juga: Begini Lho Maksud Fachrul Razi Bilang Radikalisme Lewat Anak Good Looking
Novel Bamukmin kepada Suara.com, Jumat (14/8/2020), kembali menegaskan program tersebut buat dai hanya akan memicu kegaduhan dan keresahan di kalangan umat Islam, seperti yang berlangsung akhir 2019.
Novel Bamukmin mengutarakan sejumlah kekhawatiran jika program sertifikasi diberlakukan. Dia menyebutnya sangat berbahaya, akan mengotak-kotakan para mubaligh.
“Bahkan bisa saling berhadap hadapan dan ini sangat mengadu domba anak bangsa dan kalau sudah teradu domba jelas ini adalah upaya adu domba neo PKI,” kata Novel.
Barangkali Novel sudah sampai pada taraf sangat jengkel terhadap pimpinan Kementerian Agama. Dia menilai kementerian ini perlu dirombak.
Dia curiga pimpinan kementerian itu yang disebutnya telah gagal paham, selama ini dibisiki oleh golongan orang yang berpaham sekularisme, liberalisme, pluralism, dan sosialisme (sepilis).
“Saya melihat kemenag ini sudah selayaknya di-reshufle karena orang yang jelas gagal paham dengan ajaran agama Islam itu sendiri dan diduga pembisik pembisiknya pun adalah golongan orang-orang sepilis sehingga ingin merusak tatanan dalam ranah beragama demi kepentingan politik penguasa yang saat ini diduga berpihak kepada neo PKI dengan kasus masuknya RUU HIP yang akhirnya umat Islam lintas ormas Islam serta lintas daerah di seluruh Indonesia menolaknya dan RUU HIP gagal menjadi UU dan akhirnya pemerintah mengutus utusannya yaitu empat menteri ke DPR mengajukan pengganti RUU BPIP yang BPIP pun harusnya dibubarkan karena jelas menyerang Islam dengan mengatakan bahwa agama adalah musuh besar Pancasila dan BPIP ini satu paket bermasalah sama dengan kemenag yang dengan ocehan BPIP membuat gaduh dan meresahkan umat Islam,” kata Novel.
Itulah yang dikatakan Novel menjadi dasar bagi PA 212 menolak apa yang disebutnya sertifikasi dai itu.
Berbeda dengan argumentasi Fachrul Razi yang menjelaskan tujuan program adalah untuk mencapai kerukunan, menurut Novel, itu justru ajang adu domba para mubaligh dan menurutnya bisa berakibat fatal bagi keutuhan bangsa.
“Dan dai atau mubaligh bersertifikat jelas adalah menjadikan seburuk-buruknya dai atau mubaligh, bahkan ulama karena terkekang akan penyampaian yang benar,” kata Novel.
Novel Bamukmin kemudian mengutip hadits yang menjadi prinsip karakter para dai, yakni "sampaikanlah yang benar walaupun pahit" dan juga "sampaikanlah walau satu ayat."
Novel berpandangan hakikatnya keberadaan dai adalah oposisi dari penguasa yang akan selalu mengkritisi dan mengontrol jalannya suatu kekuasaan agar tidak semena-mena kepada rakyatnya dan juga tidak menyimpang dari agama.
“Karena Indonesia adalah negara beragama yang mana jelas dalam Pancasila dalam sila pertama bahwa negara Indonesia berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa serta dalam pembukaan UUD 45 bahwa negara ini merdeka " atas berkat rahmat Allah Yang Maha kuasa " dan Islam rahmatan lil alamin adalah segala ajaran Islam dijalankan dengan kaffah bukan hanya sesuai pesanan penguasa yang saat ini justru berpihak kepada aseng, penista agama dan kriminalisasi ulama dan jelas seburuk-buruknya ulama, dai, dan mubaligh adalah mereka yang menjilat kekuasaan,” kata Novel Bamukmin.
Bagi Novel Bamukmin sertifikasi dai hanyalah mengantarkan para dai menjadi ulama suu' yaitu ulama yang jahat yang menyampaikan dakwah dengan menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan umat demi mendukung kekuasaan yang saat ini tidak berpihak kepada Islam.
“Walau saat ini wapresnya kiai sudah sangat tidak berdaya yang diduga hanya dijadikan komoditas politik atas nama agama demi kekuasaan justru menindas ulama dan syiar Islam,” kata Novel Bamukmin.
PA 212, kata Novel, meminta untuk menghentikan agenda yang disebutnya konyol dan brutal tersebut.
Menurut dia seharusnya kementerian ini merealisasikan fatwa MUI dengan ketetapan Nomor 7 Tahun 2005 tentang paham sepilis yang jelas sudah diharamkan.
Novel menyebut paham sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan sosialisme adalah penyakit atau kesesatan atas nama agama.
“Sepilis ini adalah suatu peluang memberikan legitimasi kepada aliran sesat, para penista serta komunisme atas nama agama,” kata Novel.
Dia ingatkan jika wacana sertifikasi dai tetap dipaksakan, jangan menyalahkan umat Islam melakukan perlawanan dengan memboikot, bahkan mengusir dai-dai bersertifikat.
“Bahkan pengusiran ulama ulama suu' karena masjid dan musala yang ada di Indonesia adalah sebagian besar dari swadaya umat Islam yang membangunnya sehingga hak setiap pengurus masjid memboikot para dai bersertifikat, bahkan bisa jadi mengusirnya,” kata Novel.
Novel menyebut paham sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan sosialisme adalah penyakit atau kesesatan atas nama agama.
“Sepilis ini adalah suatu peluang memberikan legitimasi kepada aliran sesat, para penista serta komunisme atas nama agama,” kata Novel.
Dia ingatkan jika wacana sertifikasi dai tetap dipaksakan, jangan menyalahkan umat Islam melakukan perlawanan dengan memboikot, bahkan mengusir dai-dai bersertifikat.
“Bahkan pengusiran ulama ulama suu' karena masjid dan musala yang ada di Indonesia adalah sebagian besar dari swadaya umat Islam yang membangunnya sehingga hak setiap pengurus masjid memboikot para dai bersertifikat, bahkan bisa jadi mengusirnya,” kata Novel.
Serifikasi sifatnya sukarela
Kementerian Agama tentu saja sudah menganalisa kemungkinan terjadi pertentangan. Mereka menjelaskan sertifikasi dai sebenarnya bersifat sukarela. Tidak ada paksaan dalam proses pemberian sertifikat uji kompetensi penceramah tersebut.
"Ini sifatnya voluntary, sukarela... Tidak kemudian diartikan yang tidak mengikuti sertifikasi ini tidak boleh ceramah," kata Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi dalam laporan Antara.
Program dai bersertifikat merupakan program Majelis Ulama Indonesia. Apakah nanti di masjid atau di tempat majelis taklim mensyaratkan yang memberikan ceramah sudah bersertifikat atau tidak, kata Zainut, itu lain hal.
Sertifikasi dai merupakan upaya MUI untuk meningkatkan kompetensi penceramah. Dai melalui sertifikasi agar benar-benar memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai dan memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.
"Dua hal ini yang sesungguhnya menjadi tujuan dari program dai bersertifikat," katanya.
MUI memiliki jaringan dari tingkat pusat hingga daerah untuk memproses program dai bersertifikat.
"Tentu berdasarkan zona wilayah, panduannya dari pusat. MUI juga bekerja sama dengan ormas Islam yang juga mengerjakan hal yang sama. Fastabiul khairat (berlomba dalam kebaikan)," katanya.