Suara.com - Ekonom Rizal Ramli resmi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold), Jumat (4/9/2020).
Salah satu alasannya, yakni demokrasi Indonesia terlihat bersifat kriminal.
Mantan Menko Maritim era kepemimpinan Jokowi periode pertama ini menyebut hal itu bukan tanpa alasan.
Rizal memberikan contoh jika ada seseorang ingin maju sebagai calon kepala daerah atau presiden harus menyiapkan mahar politik agar dapat dukungan penuhi ambang batas.
Baca Juga: Gugat Presidential Threshold, Rizal Ramli: Tarif Jadi Presiden Makin Gila
Ia curhat pernah ditawari kasus serupa dimana partai politik meminta sejumlah mahar kepada dirinya jika mencalonkan diri menjadi presiden pada Pilpres 2009 silam.
"Saya 2009 pernah di-tawarin. Mas Rizal dari kriteria apapun lebih unggul dibandingkan yang lain, kata partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam. Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu 900 miliar. Nyaris Rp1 triliun," kata Rizal di Gedung MK, Jalan Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).
Menurutnya, nominal tersebut terjadi pada 2009, jika 2020 ini bisa jadi jumlahnya terus meningkat. Pada akhirnya, menurut Rizal, para calon yang tak bisa bayar mahar akan didanai para cukong.
"Cukongnya membantu buzzer-influencer media, apa yang terjadi begitu seseorang terpilih menjadi pejabat, bupati, gubernur atau yang lebih tinggi dia lupa cita-cita buat belain rakyat," tuturnya.
Lebih lanjut, hal itu pula lah yang melatarbelakangi dirinya ditemani Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun sebagai kuasa hukum untuk menggugat Presidential Threshold sebesar 20 persen ke MK.
Baca Juga: Rizal Ramli dan Refly Harun Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden ke MK
"Nah konci hentikannya adalah threshold. Threshold kalau calon presiden 20 persen, bupati kalau gak salah 20 persen juga. Nah itu partai-partai minta upeti yang besar itu lah yang merusak Indonesia," tandasnya.