Suara.com - Sedikitnya 34 daerah yang menggelar pilkada serentak tahun 2020, berpotensi diikuti hanya satu pasangan calon. Apakah hal ini konsekuensi sistem pemilu ataukah politik pragmatis?
Pendaftaran calon kontestan pilkada tahun 2020 resmi dibuka Jumat (04/09). Merujuk dinamika politik yang terjadi, setidaknya pemilihan kepala daerah di 34 daerah berpotensi besar diikuti calon tunggal.
Lembaga pemantau pemilu menyebut tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun.
Muncul kekhawatiran, demokratisasi yang diharapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bakal semakin terkikis politik pragmatis.
Baca Juga: PPP dan PKB Usung Bacalon Pilkada Pandeglang, Thoni: Tak Ada Kotak Kosong
Namun partai politik berdalih bahwa kesepakatan mengusung calon tunggal merupakan konsekuensi sistem pemilihan yang disepakati pemerintah dan DPR di tingkat pusat.
Pilkada yang diikuti satu pasangan calon kepala daerah terus meningkat selama tiga kontestasi terakhir, menurut catatan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Pada pilkada tahun 2015 terdapat tiga daerah yang memiliki satu calon. Jumlah itu terus naik, berturut-turut sembilan calon tunggal pada pilkada 2017 dan 16 pada tahun 2018.
Jika kesepakatan politik yang sudah diumumkan tidak berubah, setidaknya dari 270 daerah yang bakal menggelar pilkada Desember nanti, 34 di antaranya hanya akan memiliki satu pasangan calon.
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Perludem, menilai koalisi partai untuk mengusung satu calon yang sama hanya didasari hasrat untuk berkuasa.
Baca Juga: Petahana Pilkada Pandeglang Cari Lawan, Tak Mau Lawan Kotak Kosong
Partai politik, kata Khoirunnisa, saat ini enggan mengeluarkan tenaga dan ongkos untuk memperjuangkan calon kepala daerah yang tak punya kans besar untuk menang.
"Semua indikator utama pencalonan adalah popularitas, jadi yang dicalonkan yang punya elektabilitas tinggi dan modal besar. Partai pragmatis dan rasional, hanya ingin menang pemilu," kata Khoirunnisa saat dihubungi melalui telepon, Kamis (03/09).
"Jadi tidak ada kaderisasi berdasarkan merit system. Yang dicalonkan yang populer dan punya modal, walau ada kader yang sudah berjuang lama di internal partai," ujarnya.
Parpol: 'Kami tidak ingin berada di posisi kalah'
Merujuk UU 10/2016 tentang pilkada, partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah jika memiliki minimal 20% kursi DPRD atau mendapatkan setidaknya 25% suara sah pada pemilihan anggota DPRD sebelumnya.
Batas-batas angka itulah yang disebut Kepala Badan Pemenangan Pemilu Golkar Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas'ud, mendorong partai kecil membentuk atau bergabung ke koalisi tertentu.
Partai politik yang tidak memenuhi syarat tadi, kata Hasanuddin, terpaksa bergabung ke koalisi agar tetap memiliki hak mencalonkan kandidat pada pilkada berikutnya.
"Partai tentu tidak ingin berada di posisi kalah. Kenapa ada koalisi besar? Karena ada aturan bahwa partai yang punya kursi tapi tidak mengusung calon tidak akan bisa ikut pilkada berikutnya," ucapnya.
"Jadi kalau kursi mereka untuk mengusung calon kurang, mereka otomatis akan ikut ke partai lain. Jadi anggota koalisi semakin banyak," kata Hasanuddin.
Di Pilkada Balikpapan, Golkar bersekutu dengan semua partai di DPRD untuk mengusung Rahmat Mas'ud-Thohari Aziz.
Rahmat yang kini menjabat wakil walikota Balikpapan merupakan kader Golkar. Sementara Thohari yang merupakan wakil Ketua DPRD Balikpapan berasal dari PDIP.
Dua partai itu merupakan pemegang kursi terbanyak di DPRD Balikpapan.
'Calon tunggal tidak melanggar asas demokrasi'
Di Kota Semarang, seluruh partai di DPRD mengusung pasangan petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu. PKB, yang tak mampu mencalonkan kandidat sendiri, termasuk partai yang belakangan bergabung ke koalisi itu.
Sukirman, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah PKB Jawa Tengah, berdalih partainya juga tak punya kandidat untuk bersaing seimbang dengan petahana yang diklaim memiliki elektabilitas lebih dari 65%.
Walau akhirnya tak ada kandidat lain di Semarang, Sukirman menilai pilkada yang bakal bergulir tetap sah dan demokratis.
"Melawan petahana berat karena dia punya modal sosial besar dan punya program di pemerintahan yang bisa dia klaim serta dinikmati masyarakat," kata Sukirman saat dihubungi.
"Demokrasi dan politik harus bermanfaat. Kami anggap pasangan ini masih bermanfaat bagi Semarang. Jadi kami percayakan kembali ke mereka.
"Calon tunggal tidak melanggar asas demokrasi, kepantasan pun tidak dilanggar. Masyarakat tetap memiliki dua pilihan, petahana atau tidak memilih pasangan itu dengan cara mencoblos kotak kosong atau tidak menggunakan hak suara," ujarnya.
Apa dampak pilkada bercalon tunggal?
Masyarakat yang tak disuguhi calon alternatif, kata Khoirunnisa dari Perludem. Dia berkata, karena tidak ada debat program dan visi-misi antarcalon, pemilih tidak bisa memberikan suara kepada calon yang menawarkan konsep pembangunan terbaik.
Selain itu, Khoirunnisa juga memprediksi koalisi yang mengusung calon tunggal berpotensi menjalin kongkalikong antar eksekutif dan legislatif jika kandidat mereka memenangkan pilkada.
"Seringkali koalisi itu besar bersikap pragmatis. Koalisinya bukan berdasarkan kesamaan ideologis, tapi 'saya dapat apa, mereka dapat apa'," ujar Khoirunnisa.
"Dampak buruknya jika sudah ada kesepakatan di dalam koalisi siapa dapat proyek apa, pemerintahan itu bekerja bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi semata-mata bagi-bagi kue," tuturnya.
Namun anggapan itu dibantah Sukirman. DPRD yang solid mendukung kepala daerah disebutnya justru akan memudahkan pemerintahan daerah menggenjot pembangunan.
"Jika calonnya terpilih, koalisi mesti mendorong peningkatan prestasi petahana ketimbang periode sebelumnya karena tidak ada oposisi," kata Sukirman.
"Artinya anggaran dan arah pembangunan bisa diatur bersama. Tidak ada hambatan apapun di DPRD. Jadi semestinya angka kemiskinan turun, layanan pendidikan dan kesehatan juga bisa meningkat 100%," ujarnya.
Pilkada dengan calon tunggal dianggap Perludem juga muncul karena syarat berat untuk calon perseorangan atau yang dari luar partai politik.
Secara umum, sebelum mendaftarkan diri, calon perseorangan harus mendapatkan dukungan dari 6,5-10% pemegang hak suara. Persentase setiap daerah berbeda, tergantung jumlah pemilih tetap.
Sejak 2015, dari 28 pilkada yang diikuti calon tunggal, hanya satu yang dimenangkan kotak kosong. Perisitwa itu terjadi pada Pilkada Kota Makassar tahun 2018, saat pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi gagal meraih lebih dari 50% suara sah.
Menurut UU Pilkada, pemilihan kepala daerah yang dimenangkan kotak kosong akan diulang tahun berikutnya. Kandidat yang kalah bisa mendaftar kembali.
Sebelum pilkada berikutnya berlangsung, tugas kepala daerah akan dijalankan seorang pelaksana tugas yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri.
Pendaftaran calon kandidat Pilkada 2020 akan ditutup 6 September mendatang. Setelah kampanye dan tahapan lainnya, pemungutan suara diagendakan dilakukan secara serentak pada 9 Desember depan.