Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengambil alih kasus gratifikasi Djoko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Kumalasari di Kejaksaan Agung RI.
"Pertama, proses penindakan di Kejaksaan Agung berjalan lambat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (2/9/2020).
Kemudian, KPK memiliki alasan yang kuat mengambil alih kasus Jaksa Pinangki. Lantaran sesuai pasal 11 UU KPK Nomor 19 tahun 2019 yang berbunyi bahwa KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan.
"Pelaku dugaan tindak pidana korupsi - Pinangki Sirna Malasari - berasal dari aparat penegak hukum. Konteks ini relevan dengan Pasal 11 UU KPK," ujar Kurnia.
Baca Juga: Tiba di Kejagung, Jaksa Pinangki Bungkam
Terakhir, kasus suap jaksa Pinangki itu dimaksudkan untuk mengurusi fatwa di Mahkamah Agung.
"Bagian ini juga relevan jika dikaitkan dengan historis pembentukan KPK yang dimandatkan untuk membenahi sektor peradilan dari praktik koruptif," imbuh Kurnia.
Seperti diketahui, tersangka Pinangki diduga berperan dalam memuluskan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Djoko Tjandra pada Juni 2020. Kejagung juga menemukan bahwa Pinangki sempat bertemu dengan Djoko di Malaysia.
Selain itu Pinangki diduga menerima uang suap sebesar 500.000 dolar AS atau sebesar Rp 7,4 miliar.
Baca Juga: Pakai Rompi Pink, Jaksa Pinangki Penuhi Agenda Pemeriksaan di Kejagung