Suara.com - Pandemi virus corona benar-benar merubah sistem belajar para siswa. Anak-anak sekolah diwajibkan mengikuti belajar online atau daring. Tak terkecuali para pelajar di Desa Tapus Sipagimbal, Kecamatan Aek Bilah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Sayangnya, kondisi di daerah itu belum didukung fasilitas jaringan internet yang memadai. Sehingga, para siswa terpaksa masuk ke areal terbuka di hutan yang selama ini menjadi perlintasan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Dilansir dari Kabarmedan.com (jaringan media Suara.com), Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi mengatakan, kemunculan harimau di desa tersebut sudah terjadi sejak Mei 2020.
Warga yang resah melaporkannya kepada petugas. Harimau tersebut diduga telah memangsa anjing, ular hingga kambing milik warga.
Baca Juga: Jadi Daya Tarik, Aksi Beri Makan Harimau di Taman Satwa Cikembulan
Petugas kemudian turun ke lapangan dan mendapatkan fakta-fakta bahwa memang ada kejadian itu.
“Harimau memangsa kambing pada 15 Agustus 2020. Masyarakat resah,” katanya, Senin (31/8).
Pihaknya kemudian memasang kandang jerat pada 22 Agustus 2020. Hanya waktu 2 malam, harimau masuk ke dalam kandang jerat.
“Kita evakuasi karena meresahkan dan mengkhawatirkan, terutama anak-anak di sana. Memang kalau untuk sekolah daring harus mencari sinyal di spot terbuka di hutan. Padahal itu dekat dengan perlintasan harimau,” ujarnya.
Hotmauli menjelaskan, harimau yang dievakuasi berjenis kelamin betina dengan berat 45,2 Kg.
Baca Juga: Kamera Tersembunyi Ungkap Meningkatnya Populasi Harimau Thailand
Usianya diperkirakan 2-3 tahun. Saat ditemukan kondisinya lemah. Dari hasil pemeriksaan sampel darah, diketahui harimau tersebut mengalami dehidrasi, malnutrisi dan anemia.
“Dari analisa perilaku, harimau baru lepas sapih dari induknya,” katanya.
Harimau itu selanjutnya dibawa ke Barumun Nagari Wildlife Sanctuary untuk direhabilitasi dan dipulihkan kondisinya.
Hotmauli mengatakan, harimau tersebut masih memiliki sifat liar. Saat bertemu dengan manusia, harimau langsung mengaum.
“Kondisinya agak lemah. Dari berat badan itu di bawah normal. Tapi secara keseluruhan tidak ada bekas jerat, dan dokter hewan yang mengawasi optimis, tidak terlalu lama kondisinya akan pulih,” ungkapnya.
Pihaknya sudah melaporkannya ke pusat dan melakukan diskusi dengan para pegiat-pegiat konservasi terkait penanganan harimau tersebut.
Pihaknya juga masih melakukan assesment terkait lokasi pelepasliaranya. Salah satunya di zona inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk menghindari konflik.
Hotmauli menjelaskan, saat ini harimau sumatera ada sekitar 400-600 ekor populasi se-Sumatera.
Sementara di Sumut, jumlahnya sekitar 33 ekor dan tersebar di beberapa titik dan tidak selalu tersambung. Namun tidak semua harimau tersebut muncul di kawasan konservasi.
“Status di situ hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP). Tidak ada kawansan konservasi. Meski tutupannya banyak hutan, tapi APL yang bikin batasannya kan kita,” katanya menambahkan.