Suara.com - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengomentari soal 100 dokter Indonesia yang gugur akibat Covid-19.
Menurutnya hal tersebut terjadi karena masih abainya intervensi terhadap testing virus tersebut.
Dicky menemukan, angka kematian tenaga kesehatan tinggi di beberapa wilayah yang cakupan testingnya rendah dan positive rate-nya tinggi seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Hal itu memperlihatkan bahwa aspek intervensi testing ataupun tracing yang dilakukan tidak optimal.
Baca Juga: Kematian Dokter Akibat Corona Sudah 100 Jiwa, IDI Serukan Ini ke Pemerintah
Padahal normalnya, testing ataupun tracing itu dapat dilakukan sesuai dengan target organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu satu tes per 1.000 orang dengan positive rate di bawah lima persen.
Kalau tidak dilakukan, maka tenaga kesehatan juga menjadi korban ganasnya virus yang kali pertama ditemukan di Kota Wuhan, Hubei, China tersebut.
"Salah satunya adalah membuat tenaga kesehatan ini menjadi semakin rawan. Karena kita tahu klaster terbesar dan tertinggi angka kasusnya dalam pandemi Covid ini adalah klaster rumah sakit atau layanan kesehatan," kata Dicky saat dihubungi Suara.com, Senin (31/8/2020).
Rentannya penularan virus di rumah sakit atau layanan kesehatan itu juga terjadi karena banyaknya orang yang terinfeksi tapi tak terdeteksi datang ke tempat itu.
Sehingga daftar tenaga kesehatan yang sakit atau meninggal dunia karena corona pun semakin bertambah panjang.
Baca Juga: Pandemi Sudah 6 Bulan, Tes Corona Indonesia Masih Jauh dari Standar WHO
"Banyak orang yang terinfeksi ini tidak terdeteksi araupun yang datang ke rumah sakit ini akhirnya meningkat dengan tajam karena abainya kita atau wilayah-wilayah itu terhadap intervensi testing. Ini sangat penting untuk dipahami oleh para pengambil kebijakan di wilayah-wilayah itu."