Suara.com - Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI menuntut Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf atas kasus tindakan represif dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparatur negara dan aparat Kepolisian terhadap aktivisnya di beberapa daerah.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengatakan berbagai kekerasan, intimidasi, kriminalisasi hingga stigmatisasi tersebut merupakan potret buruk wajah negara. Olah karena itu ia meminta Jokowi memberikan perhatian khusus dan segera bersikap.
"Presiden harus meminta maaf dan melakukan pemulihan nama baik tiga orang aktivis WALHI. Sekaligus memulihkan hak dan nama baik aktivis lain serta masyarakat korban represi alat kelengkapan negara," kata Nur dalam webinar WALHI, Minggu (30/8/2020).
Tuntutan kedua, ia meminta Jokowi melakukan evaluasi sekaligus menjatuhkan hukuman kepada aparat hingga pimpinan Kementerian dan Lembaga yang melakukan cara-cara represi kepada masyarakat dan aktivis. Menurutnya kritik terhadap pemerintah, parleman dan kelengkapan negara lainnya adalah hal yang tidak boleh ditindak dengan cara represif.
Baca Juga: Tiga Aktivis Walhi Diteror Hingga Dugaan Kriminalisasi di Masa Pandemi
"Presiden melakukan evaluasi terhadap seluruh perizinan industri ekstraktif yang memberikan ancaman terhadap pemenuhan hak untuk hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," ujarnya.
Ia juga meminta Jokowi dan DPR RI membatalkan seluruh proses legislasi RUU yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, seperti RUU Cipta Kerja dan lainnya.
"Komnas HAM dan Ombudsman RI melakukan evaluasi kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah berdasarkan kriteria hak asasi manusia dan kesesuaian prosedur yang tepat," tandasnya.
Sebelumnya, di tengah pandemi Covid-19 sejumlah aktivis WALHI mengalami tindakan represif dari berbagai oknum aparatus negara dan aparat kepolisian. Terhitung sepanjang Juli, ada tiga kejadian represif yang dialami aktivis WALHI di berbagai daerah.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengatakan tiga kejadian itu dilakukan atas nama negara yang mencoba bungkam aktivitas advokasi dan suara kritis aktivis WALHI.
Baca Juga: Kerek Daya Beli Masyarakat, Tambahan Gaji Rp 600 Ribu Dirasa Kurang Nendang
Kejadian tersebut terjadi kepada Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien; Kepala Departemen Advokasi WALHI, Zenzi Suhadi; dan Direktur WALHI Kalimantan Timur, Yohana Tiko.
"Ketiga aktivis ini secara intens melakukan advokasi dengan mengkritik tindakan serta kebijakan pemerintah yang tidak pro pada kemanusiaan dan lingkungan hidup," ucap Nur.
Kejadian pertama terjadi kepada Muhammad Al Amien yang sedang mendampingi perjuangan nelayan Pulau Kodingareng dalam menolak kegiatan tambang pasir laut. Amien diteror oleh intel untuk menghentikan aktivitas lapangannya dan dituduh memprovokasi warga.
"Sedangkan nelayan penolak tambang dilakukan tindakan pemidanaan yang dipaksakan (kriminalisasi) dengan pasar karet merendahkan martabat rupiah," kata Nur.
Kejadian kedua dialami oleh Zenzi Suhadi saat ia sedang aktif mengawal kasus kematian Golfrid Siregar (aktivis lingkungan di Sumatera Utara yang tewas dibunuh), rencana pemindahan Ibu Kota Negara dan investigasi benih ekspor benih lobster. Pembungkaman terhadap Zenzi dilakukan dengan cara tuduhan narkoba dan melakukan penggeledahan di rumahnya tidak sesuai prosedur.
Oknum yang mengatasnamakan petugas telah mengacak rumah, memeriksa handphone dan melakukan tes urin. Begitu hasil negatif, polisi pergi seketika.
"Patut dipertanyakan apa motif polisi untuk memeriksa rumah dan handphone milik Zenzi," tuturnya.
Terakhir, kasus Yohana Tiko didatangi sekelompok orang mengaku petugas Dinas Kesehatan Kota Samarinda dengan dalih uji acak swab Covid-19. Hasil swab yang disebut akan keluar dalam waktu 4 sampai 5 hari, keluar lebih cepat hanya dalam waktu kurang dari satu hari.
Dengan alasan virus corona, orang yang mengatasnamakan negara tersebut memaksa masuk dan menggerakkan warga mengepung kantor WALHI Kalimantan Timur. Tiko dan dua orang aktivis LBH Samarinda saat itu sedang mengadvokasi Teluk Balikpapan, kriminalisasi tahanan politik Papua, rencana pemindahan Ibu Kota itu dinyatakan positif Covid-19 tanpa disertai hasil laboratorium.
"Belakangan, hasil rapid dan swab yang dilakukan Tiko dan dua orang anggota LBH itu secara mandiri menunjukan hasil negatif," ungkapnya.