Suara.com - Sejumlah aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup alias WALHI mengalami perlakuan represif dari aparat Kepolisian di masa pandemi Covid-19. Sepanjang Juli 2020, sedikitnya terdapat tiga kejadian represif yang dialami aktivis WALHI di berbagai daerah.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengatakan tiga kejadian itu dilakukan atas nama negara yang mencoba bungkam suara kritis aktivis WALHI yang mengadvokasi kasus perusakan lingkungan hidup dan masyarakat.
Kejadian tersebut dialami oleh Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien; Kepala Departemen Advokasi WALHI, Zenzi Suhadi; dan Direktur WALHI Kalimantan Timur, Yohana Tiko.
"Ketiga aktivis ini secara intens melakukan advokasi dengan mengkritik tindakan serta kebijakan pemerintah yang tidak pro pada kemanusiaan dan lingkungan hidup," kata Nur dalam webinar WALHI, Minggu (30/8/2020).
Baca Juga: Meningkat di Masa PSBB, 2.288 Wanita di DKI Resmi Menjanda Imbas Corona
Kejadian pertama terjadi kepada Muhammad Al Amien yang sedang mendampingi perjuangan nelayan Pulau Kodingareng dalam menolak kegiatan tambang pasir laut. Amien diteror oleh orang yang belakagan diketahui intel agar menghentikan aktivitasnya di lapangan mendampingi masyarakat korban dan dituduh memprovokasi warga.
"Sedangkan nelayan penolak tambang dilakukan tindakan pemidanaan yang dipaksakan (kriminalisasi) dengan pasar karet merendahkan martabat rupiah," ujar Nur.
Kejadian kedua dialami oleh Zenzi Suhadi saat ia sedang aktif mengawal kasus kematian Golfrid Siregar (aktivis lingkungan di Sumatera Utara yang tewas dibunuh), rencana pemindahan Ibu Kota Negara dan investigasi benih ekspor benih lobster. Pembungkaman terhadap Zenzi dilakukan dengan cara tuduhan narkoba dan melakukan penggeledahan di rumahnya tidak sesuai prosedur.
Oknum yang mengatasnamakan petugas telah mengacak rumah, memeriksa handphone dan melakukan tes urin. Begitu hasil negatif, polisi pergi seketika.
"Patut dipertanyakan apa motif polisi untuk memeriksa rumah dan handphone milik Zenzi," tuturnya.
Baca Juga: Pandemi COVID-19, Gelaran Balapan Indonesia Beda dari Luar Negeri
Terakhir, kasus Yohana Tiko didatangi sekelompok orang mengaku petugas Dinas Kesehatan Kota Samarinda dengan dalih uji acak swab Covid-19. Hasil swab yang disebut akan keluar dalam waktu 4 sampai 5 hari, keluar lebih cepat hanya dalam waktu kurang dari satu hari.
Dengan alasan virus corona, orang yang mengatasnamakan negara tersebut memaksa masuk dan menggerakkan warga mengepung kantor WALHI Kalimantan Timur. Tiko dan dua orang aktivis LBH Samarinda saat itu sedang mengadvokasi Teluk Balikpapan, kriminalisasi tahanan politik Papua, rencana pemindahan Ibu Kota itu dinyatakan positif Covid-19 tanpa disertai hasil laboratorium.
"Belakangan, hasil rapid dan swab yang dilakukan Tiko dan dua orang LBH itu secara mandiri menunjukan hasil negatif," ungkapnya.
Sejauh ini, ketiganya masih terlibat dalam berbagai advokasi kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang didampingi WALHI. Kondisi ketiga aktivis ini sedikit lebih beruntung dibanding keadaan berbagai komunitas masyarakat yang mengalami tindakan hampir serupa.
"Perjuangan menyelamatkan nafkah hidup dan lingkungan akibat industri ekstraktif selama masa pandemi mengantar mereka pada kematian yang belum waktunya, dinginnya lantai penjara, kekerasan dan intimidasi tanpa henti," pungkasnya.