Sikap Fadli Zon Soal KAMI Bagus Jika Dimulai Mundur dari Partai dan DPR

Siswanto Suara.Com
Minggu, 30 Agustus 2020 | 12:30 WIB
Sikap Fadli Zon Soal KAMI Bagus Jika Dimulai Mundur dari Partai dan DPR
Politisi Partai Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon. [Suara.com/Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur eksekutif lembaga riset politik Charta Politika Yunarto Wijaya mengomentari pernyataan anggota DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon bahwa Indonesia membutuhkan oposisi non parlemen seperti Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia.

Menurut Yunarto yang disampaikan melalui akun Twitter @yunartowijaya, apa yang disampaikan Fadli Zon akan lebih bagus lagi kalau dimulai dengan dia mundur dari anggota partai dan anggota DPR.    

"Twit ini sebetulnya punya muatan cukup bagus kalau anda bisa memulainya dengan mundur dari partai dan DPR dan fokus di KAMI, karena di twit ini anda menyiratkan partai dan parlemen gak jalankan fungsi dengan baik," kata Yunarto.

Melalui akun Twitter @fadlizon, Fadli Zon menyoroti polemik yang muncul setelah deklarasi KAMI yang dilaksanakan sehari setelah HUT ke-75 Republik Indonesia.

Baca Juga: Fadli Zon: Kehadiran KAMI Jadi Hawa Segar Bagi Demokrasi yang Makin Sumpek

Ada kelompok pro, ada juga yang kontra. Kelompok kontra umumnya menilai gerakan KAMI punya motif politik sehingga mereka disarankan menjadi organisasi massa atau partai politik saja.

"Saya melihat apa yang disuarakan KAMI sebenarnya hanya meneruskan kegelisahan masyarakat saja. Bagaimanapun, kekuasaan memang butuh diawasi dan dikritik. Bukan hanya oleh lembaga resmi pemerintahan, seperti parlemen, atau lembaga-lembaga yudisial, melainkan juga oleh kelompok masyarakat, yang dulu sering disebut civil society," kata kata Fadli Zon.

Menurut penilaian Fadli Zon, apa yang dilakukan KAMI merupakan bagian upaya menyampaikan kegelisahan masyarakat. Dia menyebut dulu pers juga berfungsi sebagai “anjing penjaga” atau “watch dog” dari pemerintahan. Tapi, dia menilai, peran pers perjuangan seperti itu nampaknya kian punah.

"Hadirnya KAMI menunjukkan masih ada civil society di Indonesia. Hal ini patut disyukuri. Sebagai anggota parlemen, saya bahkan melihat kemunculan kelompok oposan di luar parlemen seperti KAMI ini merupakan hawa segar bagi “demokrasi” yang makin sumpek," kata dia.

Menurut Fadli Zon, selain membantu mengkritisi pemerintah, kehadiran KAMI juga turut membantu parlemen, juga partai politik, dalam hal otokritik.

Baca Juga: Tantang Debat, KAMI Enggan Layani Reaksi Elit dan Buzzer Bayaran

"Catatannya cukup jelas, jika parlemen dan partai politik kita menjalankan fungsinya, peka terhadap aspirasi masyarakat, melaksanakan fungsi check and balances terhadap kekuasaan, maka gerakan seperti KAMI ini sebenarnya tak akan muncul," kata Fadli Zon.

Kemunculan KAMI, menurut Fadli Zon, menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam fungsi parlemen, partai politik, pers dan institusi-institusi pilar demokrasi lainnya.

Itu sebabnya, menurut dia, tak perlu jengah terhadap kehadiran KAMI. Dan gerakan masyarakat sipil memang tak sepantasnya direspon dengan penilaian menyudutkan. Kehadiran civil society merupakan bagian dari demokrasi, sekali lagi sama seperti halnya kehadiran pers dan partai politik.

Gerakan seperti KAMI, menurut dia, selalu muncul di setiap periode pemerintahan. Dulu, pada masa Orde Baru, misalnya, ada kelompok Petisi 50.

Sesudah Reformasi, pada masa pemerintahan Presiden @SBYudhoyono pernah muncul Petisi 28. Tuntutan kelompok ini bahkan lebih keras ketimbang delapan tuntutan yang disampaikan KAMI, yaitu memobilisasi gerakan cabut mandat dengan target menurunkan presiden, demikian dikatakan wakil ketua umum Partai Gerindra itu.

"Toh kita tahu pemerintah dan semua lembaga negara pada waktu itu tak ada yg merespon dengan pandangan menyudutkan atau intimidasi dan kriminalisasi," kata Fadli Zon.

"Mereka, misalnya, meminta agar para penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR agar tidak menyimpang dari jiwa Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat Pancasila. Tidak ada yang keliru dengan tuntutan tersebut," Fadli Zon menambahkan.

"Sebagai anggota  @DPR_RI, saya justru berterima kasih karena ada yg mengingatkan untuk apa dan siapa sebenarnya kita harus bersuara di parlemen."

Fadli Zon menanggapi beragam penilaian terhadap KAMI. Penilaian bahwa gerakan KAMI diisi oleh orang-orang yang kalah, atau pernah kalah, menurut Fadli Zon, adalah ungkapan sinikal yang tak paham makna demokrasi. Sebab, dalam kacamata demokrasi, tak dikenal konsep “yang menang” dan “yang kalah”.

Demokrasi, kata dia, hanya mengenal konsep “penguasa” dan “oposisi”, yang menunjukkan pentingnya mekanisme ‘check and balances’ dalam soal pemerintahan.

Menurut dia tokoh-tokoh yg mendeklarasikan KAMI kemarin bukanlah “orang-orang kalah.” Sebagian merupakan senior citizens yang punya reputasi terpuji. Mereka adalah orang-orang yang mewakafkan diri untuk meluruskan jalan yang bengkok. Dalam bingkai demokrasi, posisi mereka sangat terhormat, kata Fadli Zon.

Di sisi lain, menurut dia, munculnya gerakan-gerakan seperti ini menunjukkan sedang ada masalah serius menggelisahkan masyarakat. Inilah poin paling penting yang seharusnya kita perhatikan, katanya.

Menurut Fadli Zon, mMasyarakat menilai, sesudah dua puluh tahun Reformasi, hampir semua tuntutan saat Reformasi kini sedang dijegal. Dulu kita menentang korupsi, misalnya, namun kini lembaga anti-korupsi justru dilemahkan.

"Dulu menentang nepotisme, kini nepotisme dianggap biasa. Semua itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat.Pada saat bersamaan, kanal-kanal politik yang seharusnya dapat menyalurkan kegelisahan publik dianggap macet. Semakin sedikit juru bicara rakyat," kata dia.

Begitu juga halnya dengan saluran-saluran ekstra parlementer. Perguruan tinggi dan intelektual kampus, misalnya, yang mestinya bisa menjaga jarak terhadap kekuasaan, sehingga bisa jernih menangkap kegelisahan publik, kini justru seperti terkooptasi oleh kekuasaan, kata Fadli Zon.

"Hal serupa juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Di bawah pemerintahan Presiden @jokowi, gerakan mahasiswa bisa dikatakan mengalami mati suri. Sehingga, munculnya KAMI, yang diusung oleh sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang, adalah bentuk kanalisasi kegelisahan publik. Kemunculan KAMI adalah hal biasa dalam demokrasi. Bahkan, bagi saya, kehadiran mereka merupakan vitamin bagi demokrasi. Jika gerakan semacam KAMI ini tidak muncul, maka demokrasi kita sebenarnya sedang berada dalam ancaman," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI