Suara.com - Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Utara meningkat selama pandemi Corona. Peningkatan tercatat sepanjang Januari hingga Agustus 2020.
Kordinator Divisi Advokasi HAPSARI Sri Rahayu menjelaskan, data sepanjang Januari hingga Agustus 2020 terdapat 35 kasus kekerasan yang dilaporkan dari Wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai.
"Dari data yang ada, 26 kasus dari jumlah tersebut merupakan kekerasan dalam rumah tangga dan 6 kasus lainnya adalah kasus kekerasan seksual," kata Sri di Medan, Jumat (28/8/2020).
Dia menjelaskan, bentuk kekerasan yang dialami para korban mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga penelantaran.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Naik 75 Persen Selama Pandemi Covid
Secara nasional, angka kekerasan terhadap perempuan juga meningkat signifikan.
Secara nasional, Komnas Perempuan mencatat bahwa pelaporan kasus kekerasan seksual pada Januari hingga Mei 2020 mencapai 768 kasus
Sebanyak 542 kasus terjadi di ranah personal (kekerasan dalam rumah tangga) dan 24 persen di antaranya atau 170 kasus adalah kekerasan seksual.
Pada pada ranah komunitas, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus dan sekitar 89 persen atau 203 kasus berkaitan dengan kekerasan seksual
Berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan yang dihimpun dari lembaga layanan, dalam rentang waktu sepuluh tahun (2001 hingga 2011) menemukan bahwa rata-rata setiap hari 35 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Digelar
"Namun kurang dari 5 persen dari jumlah kasus kekerasan seksual telah diputus di pengadilan," ujarnya.
Sulit Akses Keadilan
Sri Rahayu mengatakan, berubahnya pola pelayanan ke layanan daring selama masa pandemi semakin menyulitkan korban untuk mengakses keadilan.
Pasalnya, rendahnya literasi teknologi, masalah jaringan internet yang tidak stabil dan anggaran yang terbatas untuk membeli kuota internet, mempersulit korban mendapatkan akses layanan daring untuk penanganan kekerasan yang dialaminya.
"Ditambah lagi dengan situasi lockdown pada zona-zona tertentu, menyebabkan korban tidak dapat menghindar dari pelaku kekerasan," terangnya.
Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap anak di era daring semakin berkembang. Pola kekerasan yang semula dari langsung menjadi tidak langsung atau melalui daring juga terus meningkat, dengan modus hubungan pacaran.
"Modusnya, korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks," kata Rahayu.
Namun saat kasus tersebut dibawa ke ranah hukum, belum memberikan solusi konkret kepada korban.
Perundang-undangan di Indonesia memiliki keterbatasan dalam memformulasikan bentuk, defenisi dan ruang-lingkup yang dapat dipergunakan dalam proses hukum.
KUHP baru mengakomidir perkosaan dan pencabulan sebagai bentuk kekerasan seksual. Sedangkan KUHAP tidak mengatur hak-hak korban dalam proses hukum.
"Keterbatasan hukum ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, keadilan dan pemulihan, karena pelaku (selalu) bebas dari jeratan hukum. Ditambah lagi, belum ada kebijakan yang memandatkan pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan pemantauan kekerasan seksual dari negara," katanya.
Kontributor : Muhlis