Artikulasi Konstitusional UU Penyiaran Bukan Pembatasan Ekspresi Publik

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 28 Agustus 2020 | 14:19 WIB
Artikulasi Konstitusional UU Penyiaran Bukan Pembatasan Ekspresi Publik
Ilustrasi televisi. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mengutip berita sidang yang disampaikan oleh Humas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/8/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, bahwa Pemerintah berpendapat permohonan dianggap sebagai penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran akan menimbulkan subjek dan objek hukum baru dalam penyelenggaraan penyiaran.

Nampaknya pendapat Pemerintah dimaksud lebih kepada pemahaman norma legislasi redaksional, padahal tujuan pembentukan UU Penyiaran pada tahun 1999 sudah memuat terminologi “internet”.

UU Penyiaran dinyatakan disusun untuk mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya penyelenggaraan di bidang penyiaran seperti internet.

Danrivanto Budhijanto, seorang pakar kebijakan dan legislasi teknologi informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan, bahwa dalam pemahaman teori hukum progresif dan konstruksi hukum konvergensi, pemaknaan mengenai definisi penyiaran dengan memuat penyiaran menggunakan internet bukanlah menambah subyek hukum baru, melainkan hanya memuat pemaknaan/artikulasi konstitusional terhadap legislasi eksisting yaitu penyiaran menggunakan internet, sehingga sejatinya tidak akan menimbulkan komplikasi dengan pasal-pasal lainnya di UU Penyiaran.

Baca Juga: Ini Isi Gugatan RCTI Mengenai UU Penyiaran

"Tentu Para Pemohon sudah sangat paham bahwa MK punya keterbatasan yaitu MK tidak memposisikan sebagai positive legislator. MK dalam sistem legislasi di Indonesia memerankan sebagai negative legislator yang tidak bisa menciptakan norma baru, tapi MK hanya terbatas pada pemaknaan frasa dari norma legislasi yang diartikulasi secara konstitusional," tambah Danrivanto ditulis Jumat (28/8/2020).

Sehingga sangat tidak logis Para Pemohon mengajukan pengujian ke MK secara sembrono dan memunculkan norma baru sehingga ujungnya membatalkan seluruh isi pasal dari UU Penyiaran, apalagi sampai memberangus kebebasan ekspresi publik.

Danrivanto menegaskan bahwa tujuan pembentukan UU Penyiaran yang utama adalah harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.

"Sehingga kekuatiran teman-teman insan kreatif atau publik yang biasa melakukan tayang lansung (live) di platform media sosial/penyiaran akan dikekang atau disanksi karena tidak berizin bukanlah tujuan dari Permohonan ke MK," ucapnya.

Karena yang akan diwajibkan memiliki izin penyelenggaraan siaran melalui internet jika permohonan dikabulkan oleh MK adalah hanya untuk korporasi yang selama ini telah melakukan eksploitasi digital dan data di Indonesia.

Baca Juga: Pakar Telematika Sebut UU Penyiaran Perlu Diperbaharui

Pemaknaan legislasi terhadap penyiaran melalui internet merupakan implementasi satu dari Panca Fungsi Hukum yaitu fungsi Stabilitatif bahwa UU Penyiaran mesti berfungsi sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam kemajuan teknologi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI