Suara.com - Para penyintas Covid-19 di Indonesia tidak hanya harus berjuang melawan virus yang belum ada penangkalnya. Tetapi juga harus menghadapi stigmatisasi atau asosiasi negatif dari lingkungan sekitar.
LaporCovid-19 dan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melaporkan survei terbaru mereka yang menunjukkan bahwa stigmatisasi masih terus menghantui para penyintas meski pandemi virus corona sudah berjalan enam bulan.
Peneliti utama LaporCovid-19, Dicky Pelupessy, PhD mengungkapkan sebanyak 55 persen dari total 181 responden mengaku dijadikan buah bibir oleh orang-orang sekitar setelah positif terinfeksi Covid-19.
"Sepertiga atau 33 persen dijauhi atau mengalami pengucilan, dan seperempatnya atau 25 persen mendapat julukan penyebar atau pembawa virus, serta hampir 10 persen penyintas pernah mengalami perundungan alias bullying di media sosial," kata Dicky dalam diskusi virtual.
Baca Juga: 7 Pejabat Pemprov DKI Positif Corona Tetap Diminta Kerja dari Rumah
Kemudian, stigmatisasi juga dialami oleh keluarga penyintas dimana 42 persen di antaranya menjadi buah bibir atau digosipkan oleh lingkungan sekitar.
"Dan hampir sepertiga 27 persen anggota keluarga mengalami situasi dijauhi atau dikucilkan. Sebanyak 15 persen pernah mendapat julukan penyebar atau pembawa virus," lanjutnya.
Bahkan, sebagian anggota keluarga 7 persen pernah mengalami penolakan untuk mendapatkan dan menggunakan layanan fasilitas umum.
Dicky mengungkapkan sebagian besar responden yang mendapatkan stigmatisasi ini berjenis kelamin perempuan.
"Penyebab perlakukan ini, sebanyak 43 persen karena masyarakat kurang mendapat informasi atau mendapat informasi yang keliru. Sebagian lain 42 persen beranggapan karena masyarakat takut. Stigma ini mulai didapatkan saat orang diduga terinfeksi, dan semakin besar saat statusnya menjadi positif Covid-19," ungkapnya.
Baca Juga: Update Covid-19 Global: 20 Persen Kematian Terjadi di Amerika Serikat
Melalui survei ini, LaporCovid-19 meminta pemerintah untuk lebih menjalankan komunikasi kepada publik yang memuat fakta, informasi akurat, dan tidak membingungkan mengenai Covid-19.
"Koreksi mereka yang bahasanya mempromosikan bias," ucap Dicky.
Responden survei ini adalah mereka yang pernah mengalami gejala,sedang sakit, maupun penyintas Covid-19, baik dari kalangan tenaga kesehatan maupun masyarakat luas.
Survei dilakukan secara online dengan menggunakan metode convenience sampling dari tanggal 7-16 Agustus 2020 dan disebarkan melalui aplikasi WhatsApp ke beberapa komunitas penyintas Covid-19 dan jaringan lainnya dan menjaring 279 responden. Setelah uji validitas dilakukan, terdapat jumlah total 181 responden yang valid.