Mengapa Era Jokowi Disebut Sedang Putar Balik Menuju Otoritarianisme?

Siswanto Suara.Com
Kamis, 27 Agustus 2020 | 11:21 WIB
Mengapa Era Jokowi Disebut Sedang Putar Balik Menuju Otoritarianisme?
Muhammad Kholid (Suara.com/Walda)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Kholid menyebut demokrasi di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang putar balik ke belakang menuju otoritarianisme.

Kholid menilai demokrasi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini memiliki beragam corak dan kekhasan. Ia menyebut pada masa Presiden Soeharto pembangunan lebih dipentingkan dibandingkan demokrasi. Usai reformasi, terjadi ledakan keinginan untuk menjalani kebebasan dalam bingkai demokrasi.

"Tapi di era Jokowi ada analisis dari seorang Indonesianis asal Australia yang menyebut demokrasi saat ini turn around, putar balik. Putar balik kepada otoritarianisme. Meski tidak eksplisit, tapi tanda-tanda itu sudah muncul," kata Kholid  dalam acara PKS Muda Talks dengan tema Setelah 75 Tahun Merdeka: Bagaimana Indonesia Hari Ini?"

Pada era pandemi, Kholid menilai justru pemerintah sedang melakukan justifikasi untuk melepaskan nilai-nilai dasar dari demokrasi.

Baca Juga: Dilaporkan ke Jokowi, Kemendikbud Fokus Melanjutkan Misi Merdeka Belajar

"Misalnya lewat perppu corona, judulnya untuk corona, tapi di dalamnya digolkan omnibus untuk perpajakan kemudian memangkas kewenangan legislasi, bahkan untuk APBN-P tidak perlu UU cukup dengan perpres," ujar dia.

Kholid menyebut PKS berdiri sendiri menolak perppu Covid-19 yang kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR. Ia menyebut DPR seolah menyerahkan brankas fiskal negara diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah.

Ia menyebut gejala lain melalui draf RUU omnibus law yang melakukan sentralisasi dengan banyak mencabut kewenangan daerah.

"Diulas di media-media luar bahwa RUU Omnibus Law adalah legitimasi step by step untuk menjadi rezim yang otoriter secara konstitusional," kata Kholid.

Kemudian saat ini, menurut dia, ada ketakutan dari masyarakat sipil untuk bersuara. Ia menyebut, bahkan komedian yang mengetengahkan konteks lawakan dalam bingkai kritik diserang kebebasan berekspresi.

Baca Juga: Minta Menteri Tak Asal Soal Corona, IPO: Jokowi Harus Rampingkan Staf Ahli

"Pakar kesehatan yang vokal diambil alih akunnya. Pemerintah sedang fokus bangun buzzer sebab tanpa buzzer makan kebijakan tidak legitimate," kata Kholid.

Kholid menilai anak-anak muda tetap memiliki peluang untuk menjadi solusi di tengah demokrasi yang saat ini sedang putar balik tersebut.

"Kita bisa berperan di tiga sektor. Sektor publik yakni politik dan pemerintahan dimana PKS ada di dalamnya. Sektor swasta dan sektor ketiga. Ini anak muda bisa ambil bagian," ujar dia.

Sepakat dengan hal tersebut, pengamat ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menyampaikan anak muda dapat berperan sebagai penggerak ekonomi Indonesia meski kondisi Indonesia saat ini cukup amburadul.

"Infrastuktur kita jelek, bandwith speed kita jelek, konektivitas kita jelek, belanja APB kita jelek, tapi ada satu komponen yang saya masih percaya bisa menyelamatkan Indonesia, yaitu adalah business agility. Anak-anak muda ini di tengah keterbatasan, masih punya inovasi, masih punya kemauan untuk bekerja," kata Bima.

Bima menekankan peluang ini tentu harus disikapi dengan sikap optimistis.

"Walaupun pemerintah kelihatannya kebijakan-kebijakannya suram dan menyisakan ampas bagi generasi muda kedepannya, tetapi tetap optimis melihat diri kita sendiri, melihat anak muda sendiri. Karena tanpa 1 rupiah pun sebenarnya anak-anak muda ketika diberi kesempatan itu, bisa menyerap tenaga kerja dan bisa menggerakan perekonomian," kata Bima.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI