Suara.com - Direktorat Polairud Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali menetapkan satu tersangka nelayan dari Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang Sulsel.
Namun, kali ini tersangka yang ditetapkan terkait dalam kasus perusakan dan pembakaran pipa di Makassar New Port.
Direktur Ditpolairud Polda Sulsel Kombes Hery Wiyanto mengatakan dari tiga nelayan Pulau Kodingareng yang ditangkap saat melakukan aksi protes penolakan penambangan pasir laut pada Minggu (23/8/2020) lalu, pihaknya telah menetapkan Nasiruddin sebagai tersangka.
"Betul. Satu diantara tiga pelaku pengrusakan dan pembakaran pipa di MNP. Atas nama Nasiruddin alias Sahar," kata Hery kepada Suara.com saat dikonfirmasi, Rabu (26/8/2020) malam.
Baca Juga: Polisi Tolak Penangguhan Penahanan Nelayan Perobek Uang Suap, Ini Alasannya
Menurut Hery, Nasiruddin ditetapkan sebagai tersangka setelah pihaknya memeriksa 11 orang saksi. Hasilnya, Nasiruddin terbukti melakukan tindak pidana dalam kasus pengrusakan atau pembakaran pipa di Makassar New Port yang terjadi pada, Kamis (23/7/2020) lalu.
"Sudah. Ada pemeriksaan saksi kira-kira 11 saksi yang kita lakukan pemeriksaan. Jadi ada alat bukti yang membuat Nasiruddin itu sudah kita tetapkan sebagai tersangka," kata dia.
"Semua sudah kita lalu proses penyelidikan dan penyidikan. Kemudian yang kemarin setelah kita lakukan penangkapan yang waktu kejadian itu, memang kalau di TKP dia tidak ada bukti-bukti, tapi setelah kita melakukan pemeriksaan terhadap saksi tanggal 23 Juli 2020, ada keterangan saksi bahwa dia yang membakar," Hery menambahkan.
Dalam kasus pembakaran pipa Makassar New Port tersebut, lanjut Hery, polisi juga sudah menetapkan satu tersangka lain lagi.
"Ada tersangka lain, tapi belum kita ambil. Nggak (bukan dari tiga nelayan yang ditangkap). Beda," beber Hery.
Baca Juga: Tiga Nelayan Ditangkap Polisi saat Mancing, Kapalnya Ditenggelamkan
Untuk dua nelayan Pulau Kodingareng, Kecamatan Sakarrang yang tertangkap bersama Nasiruddin, yakni Baharuddin dan Faisal telah dipulangkan.
"Yang dua sudah pulang ke rumahnya dijemput keluarganya. Hanya di kantor 1x24 jam," katanya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Edy Kurniawan mengatakan, ketiga nelayan yang ditangkap tersebut masing-masing bernama Nasiruddin, Baharuddin dan Faisal.
"Iya. Yang diamankan ada tiga, sampai sekarang masih di Polairud ditahan. Dan kami sebagai sebagai penasehat hukum tidak dibiarkan ketemu sama mereka. Dihalangi masuk," kata Edy.
Edy mengemukakan kejadian ini bermula saat para nelayan sedang melaut dengan maksud untuk memancing ikan di perairan Pulau Kodingareng, Makassar pada Minggu (23/8/2020) pagi.
Hanya saja, saat menanti umpan pancingan dimakan ikan, kata dia, tiba-tiba kapal Queen of Nederlands milik PT Boskalis melakukan aktivitas pengerukan pasir di sekitar kapal para nelayan pukul 10.00 WITA.
Padahal, di lokasi tangkap ikan itu sudah banyak nelayan yang melaut. Karena aktivitas pengerukan pasir terus dilakukan, air di sekitar lokasi pun berubah menjadi keruh dan membuat ikan-ikan yang ingin ditangkap para nelayan lari.
"Mereka sementara mancing terus tiba-tiba datang kapal penyedot pasir, yang menambang. Lautnya tiba-tiba keruh. Keruh lautnya, terus marahlah mereka nelayan kan, karena sementara mancing. Tiba-tiba keruh air, lari ikan," ungkap Edy.
Melihat kapal penambang pasir semakin mendekat, para nelayan pun kemudian saling membantu satu sama lain. Tujuannya, untuk mempertahankan posisi dan mengusir kapal Queen of Nederlands dari lokasi tangkapan ikan mereka.
Dari situ, lanjut Edy, puluhan anggota Direktorat Polairud Polda Sulsel dengan menggunakan satu kapal perang dan empat sekoci mendatangi para nelayan pukul 14.00 WITA.
Karena situasi semakin memanas, para nelayan dan polisi pun saling adu mulut. Salah satu nelayan di lokasi tersebut didatangi dan ingin diborgol.
Bahkan, para nelayan diancam bahwa kapal mereka akan ditenggelamkan. Sehingga, membuat para nelayan melompat ke laut dan kapalnya ditenggelamkan.
"Terus nelayan ini mutar-mutar keliling kapal (Queen of Nederlands), mereka mengusir ini kapal. Tiba-tiba datang Polairud langsung melakukan kekerasan, menenggelamkan kapal, menangkap orang ini," kata dia.
"Tanpa alasan jelas, mereka ingin membawa para nelayan. Namun nelayan menolak, hingga terus terjadi ketegangan. Sempat beberapa kali terdengar suara tembakan, termasuk tembakan ke arah nelayan. Seorang anak usia 12 tahun hampir terserempet peluru," Edy menambahkan.
Dari puluhan nelayan yang berada di lokasi, tiga orang diantaranya ditangkap polisi. Mereka dibawa ke kantor Direktorat Polairud Polda Sulsel, Makassar.
Selain itu, dua kapal nelayan ditenggelamkan dan satu kapal lagi dirusak. Salah satu diantaranya dipukuli menggunakan bambu oleh anggota Polairud Polda Sulsel.
"Pukul 17.30 Wita, para nelayan melakukan evakuasi satu kapal nelayan dan satu lainnya belum ditemukan," katanya.
Edy menilai penangkapan nelayan yang menolak penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan Kodingareng sangat berlebihan. Apalagi, penambang tersebut sampai dikawal polisi yang bahkan didatangkan dari Mabes Polri.
"Ini kriminalisasi terhadap nelayan. Penangkapan nelayan sangat berlebihan saat melakukan aktivitas mencari ikan di wilayah tangkap nelayan. Polisi harus hentikan penangkapan nelayan," jelasnya.
Menurut Edy, dalam kejadian ini nelayan punya hak untuk mencari penghidupan dan melakukan aktivitas di wilayah tangkapannya.
Apabila ada protes terhadap kebijakan negara dengan adanya tambang pasir yang merusak lingkungan dan wilayah tangkap ikan, itu wajar dan dilindungi undang-undang.
"Memperhadapkan nelayan dengan aparat, sama halnya negara membunuh rakyatnya. Negara harus hadir untuk rakyatnya, bukan malah sebaliknya. Dikriminalisasi," tegas Edy.
Senada dengan Edy, warga Kodingareng, Maida mengaku awalnya ia bersama anaknya Faisal yang ditangkap polisi tersebut berangkat melaut untuk mencari ikan pukul 03.00 WITA, subuh.
Namun, kapal penambang pasir laut kembali melakukan aktivitasnya di lokasi tangkap ikan. Di sekitar lokasi yang dikeruk itu, kata dia, sudah banyak nelayan yang melaut.
"Itu kapal penambang pasir (kapal Queen of Nederlands milik PT Boskalis) semakin mendekat ke tempat nelayan. Nelayan semakin terancam dan tetap bertahan di lokasi tangkap. Nelayan berada tepat dihadapan kapal pengeruk Pasir laut," jelas Maidah.
Para nelayan pun mulai protes setelah kapal penambang pasir mengganggu dan menghisap alat tangkap ikan nelayan seperti pancing. Akan tetapi, aksi protes tersebut dihadapkan dengan polisi dari Direktorat Polairud Polda Sulsel dan kapal patroli dari Mabes Polri yang mengawal kapal penambang pasir kala itu.
"Nelayan protes itu penambang pasir. Dia hisap alat pancingnya nelayan. Pas protes, diminta bubar dan diburuh nelayan sama polisi," kata dia.
"Faisal ditangkap sama polisi, tiga ditangkap. Empat ditangkap, tapi satu diantaranya lompat karena tenggelam perahunya. Baru pergi di perahu nelayan lain (yang lompat), dia tinggalkan perahunya terus kembali ke pulau. Tiga perahu ditenggelamkan polisi," beber Maidah.
Maidah menegaskan para nelayan Kodingareng menuntut agar aktivitas penambangan pasir itu dihentikan. Sebab, sangat berdampak terhadap pencarian kehidupan nelayan di sana.
"Kita semua di pulau tidak makan semua. Tidak bisa beli beras karena susah dapat pencarian ikan. Di situ kita tidak biarkan karena penambangan berdampak sama pencarian ikan tenggiri, cumi-cumi dan banyak ikan lainnya," katanya.
Kontributor : Muhammad Aidil