Suara.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja, jika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil atas Surat Presiden terkait RUU Ciptaker ke DPR.
Hal itu dikatakan salah satu anggota koalisi sipil yang menamakan diri Tim Advokasi untuk Demokrasi dari LBH Jakarta Charlie Albajili.
"Kalau ini dikabulkan harusnya harusnya Presiden Jokowi mematuhi putusan PTUN dan menarik kembali draft itu ke pemerintah," kata Charlie di PTUN Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Dia menjelaskan, surpres itu telah melanggar prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah karena tidak melibatkan masyarakat seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca Juga: Masyarakat Adat Bersaksi di Sidang: Tak Pernah Dilibatkan di Omnibus Law
"Kalau PTUN memutuskan surpres ini batal dan cacat hukum, cacat prosedur, tidak sesuai dengan undang-undang, tidak sesuai dengan asas pemerintahan yang baik, seharusnya itu ditarik kembali sampai pemerintah melaksanakan tanggung jawab undang-undang tersebut yakni penyusunannya harus partisipatif, terbuka sejak awal, naskah akademiknya harus melibatkan masyarakat yang akan terdampak ruu tersebut," jelasnya.
Charlie menyebut tidak ada masyarakat sipil baik dari buruh, masyarakat adat, hingga aktivis lingkungan yang dilibatkan dalam perumusan RUU Cipta Kerja.
"Boro-boro dilibatkan di awal, minta informasinya saja tidak boleh, dianggap rahasia begitu, ada banyak sekali masyarakat yang dirugikan karena pemerintah bersikap seperti ini," imbuhnya.
Sidang bernomor gugatan 97/G/2020/PTUN.JKT ini sudah memasuki agenda pemeriksaan saksi fakta dari koalisi masyarakat sipil yang digelar di PTUN Jakarta, siang ini.
Dalam sidang ini, koalisi mengajukan tiga saksi yang tidak pernah dilibatkan dalam RUU Cipta Kerja antara lain; Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, Wakil Presiden (Wapres) Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Iswan Abdullah dan Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati.
Baca Juga: Massa Buruh Minta Dasco Tak Hanya Menebar Janji Saja
Sidang diperkirakan masih akan berlanjut hingga agenda putusan yang kemungkinan akan dibacakan hakim PTUN pada September 2020, satu bulan sebelum rapat paripurna DPR pengesahan omnibus law.
Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil menggugat Surat Presiden Joko Widodo terkait pengajuan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 12 Februari 2020.
Empat penggugat yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Dalam gugatannya, mereka meminta PTUN Jakarta untuk menyatakan surat presiden itu batal atau tidak sah dan mewajibkan Jokowi mencabut surat tersebut.
Alasannya, Surpres itu telah melanggar prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah karena tidak melibatkan masyarakat seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja juga dinilai melanggar peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-undang Dasar 1945, hingga 27 dari 54 putusan Mahkamah Konstitusi.