ICJR: Hentikan Kasus Pidana Perusakan Mata Uang Nelayan Manre

Senin, 24 Agustus 2020 | 18:54 WIB
ICJR: Hentikan Kasus Pidana Perusakan Mata Uang Nelayan Manre
Ilustrasi nelayan dan hasil laut Indonesia. (Dok : Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Instituste For Criminal Justice Reform alias ICJR menanggapi proses pidana terhadap seorang nelayan bernama Manre oleh Polisi Perairan (Polair) Polda Sulawesi Selatan terkait dugaan perusakan mata uang yang melanggar pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Direktur Eksekutif ICJR Eramus A.T. Napitupulu menilai penerapan pasal tersebut terhadap Manre tidak tepat.

"Kami menilai proses hukum dan penahanan terhadap pak Manre tidak tepat dan berlebihan, merujuk rumusan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang dan kasus yang berhubungan dengan lingkungan," kata Eramus melalui keterangannya, Senin (24/8/2020).

Eramus mengatakan polisi seharusnya melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait kasus ini. Maka dari itu ICJR bersama tim Advokasi ELSAM memberikan beberapa catatan terkait kasus tersebut.

Pertama, unsur kesengajaan dengan maksud adalah unsur yang utama. Pasal ini berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai symbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar. Unsur kesengajaan dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara adalah hal mutlak yang harus dibuktikan dalam kasus ini.

Baca Juga: Bocah Dibikin Teler, Fahira: Pelaku Biadab Ini Alhamdulillah Ditangkap!

Menurut Eramus, dari sejumlah pemberitaan bahwa nelayan Manre menyatakan tidak tahu kalau dalam amplop yang diberikan oleh perusahaan penambang pasir laut berisi uang. Hal ini adalah keterangan yang sangat penting, sebab kesengajaan merusak mata uang adalah unsur yang sangat menentukan dalam kasus ini.

Bahkan, bila isi dalam amplop tersebut tetap diketahui berisi uang, maka Manre belum bisa dianggap melanggar ketentuan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang. Sebab pasal ini mengkehendaki kesengajaan itu dengan tujuan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.

"Sedangkan pak Manre menolak merobek amplop tersebut dengan tujuan sebagai simbol perlawanan terhadap penambangan pasir di daerah tempatnya mencari nafkah sebagai nelayan, bukan untuk merendahkan mata uang rupiah," terang Eramus.

Kedua, hukum Indonesia mengenal pengaturan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Perbuatan yang dilakukan Manre harus dibaca senapas dengan perjuangannya melawan keberadaan penambang pasir laut yang dianggapnya merusak lingkungan tempatnya mencari nafkah sebagai nelayan.

Dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan 'Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata'. Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013) untuk memperkuat posisi Anti-SLAPP di Indonesia.

Baca Juga: Heboh Pernikahan Tiga Pasangan Kembar di Sulsel, Videonya Viral

"Dalam kacamata ini, maka Pak Manre harusnya tidak boleh dituntut secara pidana," ujarnya.

Catatan ketiga ICJR, penahanan terhadap Manre berlebihan dan menunjukkan ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap kondisi masyarakat di masa pandemi covid-19. Mengingat seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Meskipun, pasal yang digunakan untuk menjerat Manre ancamannya lebih dari 5 tahun. Namun Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik.

"Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Pak Manre sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya," kata Eramus.

Dia menambahkan, pemidanaan nelayan Sulawesi Selatan itu harus menjadi atensi langsung dari Kapolri dan Presiden Joko Widodo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI