Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terjadi puluhan kasus penodaan agama terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Mereka kemudian menginginkan pasal yang sering digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut dihapuskan karena definisinya tidak jelas.
Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan kalau dari hasil analisa pihaknya masalah yang dianggap termasuk ke dalam penodaan agama diantaranya ialah menghina agama, kitab suci, keluarga nabi, doa dan ibadah, mengajak atau membuat orang pindah agama, syiar kebencian, menghalang-halangi ibadah, menafsirkan agama dan tindakan lainnya.
Namun, selama ini pihaknya belum pernah mendengar definisi secara pasti dari penodaan agama. Dengan begitu, YLBHI menginginkan adanya revisi terhadap pasal yang seringkali digunakan untuk menyelesaikan kasus penodaan agama.
Baca Juga: YLBHI Sebut Kasus Penodaan Agama Kerap Terjadi di Lima Provinsi Ini
"Rekomendasi kami sebetulnya perlu ada penghapusan pasal penodaan agama di KUHP dan penistaan agama di undang-undang ormas karena dia tidak memenuhi asas legalitas, tidak jelas apa sih penodaan agama, apa sih penistaan agama, tidak ada definisinya," kata Asfinawati dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (21/8/2020).
Asfinawati mengungkapkan pihaknya sangat memahami apabila maksud dari negara ialah untuk melindungi umat beragama. Namun sebaiknya ada perubahan pasal yang digunakan agar sesuai dengan tindakan si pelaku itu sendiri.
Selama ini kasus penodaan agama kerap diselesaikan dengan menggunakan Pasal 156a KUHP, Pasal 28 Ayat 2 juncto 45a Ayat 2 Undang-undang ITE dan Pasal 59 Ayat 3 Undang-undang Organisasi Massa.
"Harusnya pasal penodaan agama diubah menjadi pasal hate crime, juga syiar kebencian dan diskriminasi berbasis agama," katanya.
Dalam data YLBHI, mencatat terdapat 38 kasus yang berkaitan dengan penodaan agama di sejumlah daerah di Indonesia.
Baca Juga: Ketua YLBHI: Buzeer dan Influencer Bersuara Karena Pesanan
Kasus-kasus penodaan agama tersebut paling sering terjadi di lima provinsi. Yakni di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Asfinawati memaparkan data tersebut berasal dari pengumpulan kasus yang muncul pada Januari 2010 hingga Mei 2020.
"Jadi ada daerah-daerah yang cukup menonjol yaitu Sulsel, Jatim, Maluku Utara dan Jawa Barat. Dan ini kalau kita pelajari kasus-kasus sebelumnya memang daerah ini selalu ada dan cukup banyak data-data kasus penodaan agamanya," kata Asfinawati dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (21/8/2020).
Dari 38 kasus, 25 kasus diantaranya sudah memasuki tahap penangkapan pelaku, 10 kasus masih disidik, 11 kasus diselidik dan satu kasus tidak ditindaklanjuti.