Suara.com - Masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melaporkan perusakan rumah di tanah ulayat mereka oleh aparat keamanan, yang membuat mereka kehilangan tempat tinggal.
Imbas dari perusakan yang dilakukan oleh aparat tersebut, sebanyak 29 kepala keluarga kini terpaksa hidup beralaskan tikar dan beratap langit.
Insiden yang terjadi pada Selasa (18/8/2020) membuat anak-anak dan perempuan adat Besipae trauma.
Namun, Pemerintah Provinsi NTT berkukuh apa yang dilakukan oleh polisi adalah "efek kejut".
Baca Juga: Gubernur Viktor Laiskodat Minta Stop Provokasi di Balik Konflik Besipae
Pemprov juga menegaskan, lahan seluas 3.700 hektare itu akan dimanfaatkan sebagai lahan peternakan, perkebunan dan pariwisata.
Kekerasan yang dialami masyarakat adat yang mendiami hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini terjadi sehari setelah baju adat mereka dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75, Senin lalu.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyebut, di balik baju adat yang dikenakan presiden adalah "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah.
Akan tetapi pemerintah pusat dan DPR menegaskan komitmennya terkait hak-hak masyarakat adat dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat -yang pembahasannya sudah lebih dari satu dekade.
Berikut yang perlu Anda ketahui tentang konflik lahan masyarakat adat Besipae.
Baca Juga: Tak Layak Huni, Curhat Warga Besipae Tidur Berlantai Tanah dan Beratap Seng
Rumah-rumah digusur dan 'hidup dibawah pohon'
Pada Selasa (18/08) siang, aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP mendatangi masyarakat adat Besipae yang tinggal di Linamnutu, Amunaban Selatan yang terletak di Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT.
Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirobohkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.
Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus.
"Banyak yang trauma, khususnya anak-anak dan ibu-ibu karena dihadapkan dengan aparat Brimob dan tentara yang datang dengan senjata laras panjang," tutur Nikodemus kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/08).
"Apalagi ketika mereka datang belum ada persiapan relokasi, masyarakat punya rumah itu digusur sehingga masyarakat sementara hidup di bawah pohon," ujarnya kemudian.
Kepada BBC Indonesia, Nikodemus mengaku bahwa rumahnya dirubuhkan pada Kamis (13/08) silam ketika dirinya berada di Kupang. Barang berharga di rumahnya kini tak ada rimbanya.
"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.
"Ada 29 KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon," katanya.
Fadli Anetong, dari Aliansi Solidaritas Basipae mengatakan imbas dari kehilangan tempat tinggal itu, mereka kini tinggal di alam terbuka, beralaskan tikar dan beratap langit.
"Kalau malam mereka tidur di hamparan kosong," jelas Fadli.
"Menjadi kekhawatiran kami, beberapa warga yang tidur di hamparan kosong ini takutnya nanti sakit karena lingkungan di sini sangat tidak sehat, apalagi sampai tidur di luar, kan ada angin malam," imbuhnya kemudian.
Akan tetapi, Humas Pemerintah Provinsi NTT Marius Jelamu berkukuh bahwa apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah "membuat efek kejut" bagi warga yang menolak direlokasi dan melakukan protes dengan berbagai macam cara.
"Karena anak-anak dan perempuan-perempuan ini tidak mau bangun, selalu tidur di jalan dan menghalangi [perubuhan rumah] maka Brimob melakukan shock therapy," jelas Marius.
"Jadi sama sekali Brimob kita tidak melakukan kekerasan, sama sekali tidak. Itu shock therapy dengan menembak peluru kosong ke tanah untuk membuat efek kejut dengan bunyi itu," imbuhnya.
Sejak Februari silam, masyarakat adat yang tinggal di hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini kerap mendapat intimidasi dan diskriminasi dari pihak berwenang, terkait lahan masyarakat adat yang diklaim oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, pengrusakan rumah setidaknya sudah terjadi tiga kali, yakni pada Febuari, Maret dan Agustus.
Apa yang terbaru dari insiden ini?
Masyarakat Adat Besipae kemudian melaporkan pengrusakan rumah yang mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian pada Rabu (19/08).
Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, mengungkapkan selain melaporkan pengrusakan rumah yang mereka alami, masyarakat adat akan menggugat pemerintah daerah terkait sengketa lahan.
"Hari ini [laporan kasus] pidananya soal pengrusakan dan penggelapan barang, kemudian disusul langkah hukum yang berikutnya kita gugat perdata soal lahannya," jelas Ahmad Bumi.
Menanggapi rencana gugatan masyarakat adat terkait sengketa lahan, Humas Pemprov NTT Marius Jelamu mengatakan gugatan itu hanya dilakukan oleh "segelintir orang yang mengklaim itu tanahnya".
"Kita justru senang kalau mereka proses itu secara hukum untuk nanti membuktikan ini lahan siapa, pemerintah atau mereka," tegas Marius.
Apa sengketa lahan dibalik insiden penggusuran?
Sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam diawali oleh keengganan masyarakarat adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu.
Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae menjelaskan konflik lahan bermula pada 1982 ketika pemerintah dan Australia bekerja sama dalam peternakan dan penggemukan sapi dengan meminjam lahan masyarakat adat
Setelah kontrak selesai, pengelolaan lahan itu semestinya dikembalikan ke masyarakat adat.
"Dalam perjalanan tidak tahu menahu ceritanya, tiba-tiba lahan itu sudah disertifikat hak pakai dan luasnya tidak tanggung-tanggung, 3.700 hektare," jelas Ahmad.
Nikodemus Manao, salah satu tokoh adat Besipae menjelaskan pada 1982, pemerintah Australia menghendaki 6.000 hektar lahan untuk peternakan sapi tersebut.
"Namun karena hutan adat Pubabu hanya seluas 2.671,4 hektare, maka tetua adat pada saat itu sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan masyarakat sehingga genap 6.000 hektar," jelas Nikodemus.
Namun, pada 1985 pemerintah provinsi menerbitkan sertifikat di hutan adat Pubabu yang meliputi desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam.
Humas Pemprov NTT Marius Jelamu berdalih bahwa lahan itu sudah diserahkan oleh tetua adat kepada pemerintah daerah pada 1985 dan dibuat sertifikat atas lahan itu.
"Kita sertifikatkan tanah itu dan itu menjadi milik provinsi," jelasnya.
Pada 1987, selama 25 tahun ke depan, wilayah itu digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum kontrak kadaluarsa, tawaran perpanjangan dari Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan ditolak warga.
Akan tetapi, pada 2012, pemerintah daerah kembali mengeluarkan serfitikat dengan luas 3.780 hektare, tanpa sepengetahuan masyarakat.
"Ini yang menjadi pertanyaan. Itu belukar masyarakat masuk semua, pekarangan masyarakat juga ada di dalam, bukan hanya hutan adat saja," jelas Nikodemus.
Pada 2012, masyarakat Besipae menentang keputusan untuk memperpanjang izin atas tanah. Mereka berpendapat bahwa hutan adat diperlukan untuk dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi - yang oleh warga lokal dikenal sebagai Nais Kio.
Aktivitas bertani dan berburu tidak diperbolehkan dalam Nais Kio.
Kendati ada perlawanan dari masyarakat adat untuk melindungi hutan adatnya, Gubernur NTT Viktor Laiskodat memutuskan untuk menjalankan rencananya mengembangkan kawasan itu sebagai area peternakan, perkebunan dan pariwisata.
Pada Mei silam, gubernur mengunjungi Desa Mio di mana warga menyatakan penolakan mereka dengan melarangnya masuk ke wilayah adat dan memblokir jalan.
Pemblokiran jalan ini direspons dengan aksi kekerasan untuk membongkar jalan yang dilakukan oleh kepolisian.
Hal itu memicu aksi histeris dari para perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas perampasan lahan hutan adat.
Sejak saat itu, rumah-rumah masyarakat adat yang menempati hutan adat lambat laun digusur, kerap kali dengan intimidasi.
Pengingkaran hak masyarakat adat?
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi menyebut aksi sepihak pemprov NTT yang merusak rumah warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang diatur dalam undang-undang dasar.
"Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada di lokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak yang trauma," jelas Rukka.
Lebih jauh lagi, penyerangan terhadap komunitas Besipae juga merupakan pelanggaran terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Hal ini diamini oleh Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae yang menyebut semestinya pemerintah menghormati putusan MK tersebut, bukannya "mencaplok" hutan adat demi investasi.
"Hutan adat kan kekuatan hukumnya sudah ada melalui putusan MK itu, seharusnya semua pihak menghormati," kata dia.
"Tetapi hutan adat yang sudah ditetapkan sejak Indonesia belum merdeka dan dibawa secara turun temurun ini tiba-tiba dicaplok untuk investasi, seharusnya itu tidak boleh," ujar Ahmad.
Selain perlakuan intimidatif, lanjutnya, dua masyarakat adat Besipae, yakni Kornelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat kepolisian setempat. Mereka ditangkap tanpa surat dan alasan yang jelas.
Salah satu di antaranya, Anton Tanu, sudah dibebaskan sementara hingga kini nasib Kornelius belum diketahui.
Pemprov siapkan lahan pengganti
Humas Pemprov NTT Marius Jelamu menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan lahan pengganti seluas 20 x 40 meter bagi 37 keluarga yang tinggal di lahan yang disengketakan.
"Tapi mereka tetap tidak mau. Sementara kemiskinan terbesar di Nusa Tenggara Timur itu ada di Pulau Timor ini tempat mereka melakukan aksi. Maka kami mau mengelola kawasan yang besar itu untuk pemberdayaan ekonomi," jelas Marius
Nikodemus Manao, anggota masyarakat adat Besipae menjelaskan bahwa saat ini telah ada empat rumah yang disediakan oleh pemerintah provinsi, kendati begitu warga enggan untuk menempatinya karena rumah itu dianggap tidak layak.
"Rumah yang sementara dibangun pemerintah provinsi itu Cuma empat unit rumah saja. Sementara masyarakat yang jadi korban penggusuran ada 29 KK," jelas Nikodemus.
"Dan rumah yang mereka bangun itu di belukar masyarakat yang lain, artinya mereka mengklaim itu milik pemerintah provinsi tetapi itu milik saudara-saudara kami," imbuhnya kemudian.
'Ironis' dan mencederai kemerdekaan
Intimidasi dan diskriminasi terbaru yang dialami masyarakat Besipae terjadi sehari setelah Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat mereka dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-75 di Istana Merdeka pada Senin (17/08).
Dalam unggahan Instagramnya, Presiden Joko Widodo hanya menjelaskan terkait makna busana dan kain tenun yang dikenakannya tanpa menyinggung konflik lahan yang dialami masyarakat adat Besipae.
Rukka Sombolinggi dari AMAN menyebut apa yang terjadi sebagai "ironis" dan "mencederai kemerdekaan".
"Di balik baju adat itu ternyata ada potret gelap masyarakat adat yang ada di sana dan ini tidak hanya terjadi di sana tapi di hampir seluruh wilayah Indonesia."
"Masyarakat adat masih mengalami kekerasan," ujar Rukka.
"Ini kan hal-hal yang saya sebut cedera janji kemerdekaan karena ternyata hampir delapan dekade, 75 tahun Indonesia merdeka, tapi masyarakat adat belum merdeka," jelasnya kemudian.
Momentum untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat?
Konflik-konflik dan kekerasan yang terjadi pada masyarakat adat, menurut Rukka, "menjadi momentum" untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Adat (RUU Masyarakat Adat) yang sudah 15 tahun terkatung-katung.
Padahal, RUU ini sangat fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.
RUU ini kembali masuk agenda prioritas prolegnas setelah dua kali sebelumnya gagal ketuk palu dalam dua periode masa kerja DPR sebelumnya.
Rukka menjelaskan, meski masuk prolegnas DPR, namun dia menyatakan bahwa RUU ini "tidak sungguh-sungguh menjadi prioritas pemerintah dan DPR".
"Meskipun dibicarakan, drafnya pun bermasalah. Ini artinya DPR dan pemerintah menutup mata dengan realitas," tegas Rukka.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menegaskan bahwa pemerintah pusat berkomitmen penuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat dan mendorong DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
"Saya kira ini sangat bergantung pada dinamika politik di DPR. Pemerintah sebagai eksekutif mendorong agar DPR segera bisa menyelesaikan itu," kata dia.
"Bola politiknya ada di DPR dan pemerintah hanya bisa mendorong supaya bisa segera selesai," lanjut Donny.
Akan dibahas 'dalam waktu dekat'
Status RUU itu berada di Badan Legislatif DPR. Anggota Badan Legislatif DPR, Guspardi Gaus, mengatakan pembahasan rancangan undang-undang ini belum dilakukan karena prioritas Baleg saat ini adalah menuntaskan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
"Tentu di dalam pembahasan ada namanya skala prioritas. Hari ini kita di Baleg sedang fokus membahas tentang [rancangan] undang-undang Cipta Kerja," ujar Guspardi.
"Dalam waktu dekat akan dilakukan pembahasan tentang [RUU] Masyarakat Adat," lanjutnya tanpa menjelaskan lebih lanjut kapan pembahasan akan dilakukan.
Akan tetapi, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi berpendapat pengesahan RUU Cipta Kerja yang dia sebut berpihak pada pengusaha, justru akan menjadi "senjata pamungkas" perampasan wilayah adat sehingga aksi serupa yang dialami oleh masyarakat Besipae akan semakin sering terjadi.
"Ini akan menjadi senjata pamungkas untuk memastikan perampasan awilayah adat, memastikan tanah-tanah petani terancam digusur diberikan kepada perusahaan dan buruh-buruh hanya akan menjadi budak," cetus Rukka.
"Ini akan menimbulkan krisis bagi bangsa jika Omnibus Law disahkan," katanya.