Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirobohkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.
Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus.
"Banyak yang trauma, khususnya anak-anak dan ibu-ibu karena dihadapkan dengan aparat Brimob dan tentara yang datang dengan senjata laras panjang," tutur Nikodemus kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/08).
"Apalagi ketika mereka datang belum ada persiapan relokasi, masyarakat punya rumah itu digusur sehingga masyarakat sementara hidup di bawah pohon," ujarnya kemudian.
Baca Juga: Gubernur Viktor Laiskodat Minta Stop Provokasi di Balik Konflik Besipae
Kepada BBC Indonesia, Nikodemus mengaku bahwa rumahnya dirubuhkan pada Kamis (13/08) silam ketika dirinya berada di Kupang. Barang berharga di rumahnya kini tak ada rimbanya.
"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.
"Ada 29 KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon," katanya.
Baca Juga: Tak Layak Huni, Curhat Warga Besipae Tidur Berlantai Tanah dan Beratap Seng
Fadli Anetong, dari Aliansi Solidaritas Basipae mengatakan imbas dari kehilangan tempat tinggal itu, mereka kini tinggal di alam terbuka, beralaskan tikar dan beratap langit.