Komunitas adat Besipae bersikeras bahwa hutan adat Pubabu mesti dikembalikan lagi ke fungsi awalnya sebagai areal Nais Kio atau kawasan hutan larangan. Nais Kio adalah bentuk konservasi tradisional masyarakat adat Besipae berlandaskan kearifan lokal.
Disebutkan dalam pernyataan AMAN, penolakan tersebut tidak dipedulikan dan pemerintah Timur Tengah Selatan dengan tetap melanjutkan penggunaan kawasan hutan adat Pubabu sebagai hutan makanan ternak.
Tapi, komunitas adat Besipae tetap teguh menolak penggunaan areal seluas 3.700 hektar di kawasan hutan adat Pubabu.
Pada 12 Mei 2020, saat gubernur setempat mengunjungi Desa Mio. Warga menyatakan penolakan mereka dengan melarang gubernur untuk masuk ke dalam wilayah adat dengan cara melakukan pemblokiran jalan.
Baca Juga: Polda NTT Telusuri Tindak Pidana Pengrusakan Rumah Masyarakat Adat Besipae
Disebutkan AMAN, pemalangan jalan direspon dengan aksi kekerasan untuk membongkar pagar blokade oleh kepolisian yang turut serta dalam rombongan gubernur.
Hal ini memicu aksi histeris dari perempuan-perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas ancaman perampasan yang menyasar wilayah hutan adat Pubabu.
Aksi sepihak dengan menghancurkan pondok-pondok milik warga dinilai merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Lebih jauh, penyerangan terhadap komunitas adat Besipae juga dinilai merupakan pelanggaran Pemerintah Provinsi NTT terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Mengutuk represi
Baca Juga: YLBHI soal Kekerasan Aparat dan Baju Adat NTT yang Dipakai Jokowi: Miris
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengutuk keras tindakan represi dan persekusi terhadap warga.