Suara.com - Diragukannya obat Covid-19 buatan Universitas Airlangga oleh Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, membuat budayawan Sujiwo Tejo bertanya-tanya soal mana yang lebih penting antara prosedur dan hasil dalam riset kesehatan.
Melalui Twitter-nya pada Selasa (18/8/2020), Sujiwo Tejo menuliskan unek-uneknya tentang gugatan Pandu ke pihak Unair atas penemuan obat Covid-19.
"Mohon izin saya ingin berunek-unek sedikit soal rencana sampeyan menggugat pihak Unair kalau BPOM sampai oke terhadap vaksin Covid-19 temuan Unair, karena risetnya sampeyan nilai tak prosedural. Apakah dalam dunia kesehatan, prosedur lebih penting daripada hasil?" tanya budayawan yang akrab disapa Mbah Tejo itu.
Ia menjelaskan bahwa posisinya tidak memihak siapa-siapa saat menanyakan hal tersebut.
Baca Juga: Kemristek: Obat Covid-19 Belum Ditemukan
"Saya tidak terlalu tertarik dengan dunia praktis yang pasti menuntut pemihakan. Posisi saya, saya tertarik mengamati cara berpikir manusia/suatu bidang," jelas Sujiwo Tejo.
Ia kemudian menganalogikan pemikirannya tentang riset di dunia kesehatan dengan pertunjukan seni yang telah lama ia geluti.
"Kalau di kesenian, prosedur lebih penting daripada hasil itu berlaku saat latihan," kata dia.
Namun ketika pentas, lanjut Sujiwo Tejo, hasil lebih penting daripada prosedur. Bahkan para pelaku seni tak jarang akan melupakan teori ketika sudah berada di depan penonton.
"Nah, penanganan Covid-19 ini menurut sampeyan mash dalam taraf latihan atau sudah pentas?" tanya Tejo kepada Pandu Riono.
Baca Juga: Satgas Covid-19: Obat Kolaborasi UNAIR, TNI dan BIN Belum Ada Izin Edar
Budayawan 57 tahun ini beranggapan bahwa vaksin temuan Unair tidak mungkin akan mendapat dukungan dari TNI jika tidak memiliki hasil yang rasional.
"Saya kok berpikir enggak mungkin TNI akan mendukung vaksin temuan Unair kalau belum ada hasilnya. Tentara biasanya sangat rasional. Demikian, Mas Pandu. Matur nuwun," Sudjiwo Tedjo memungkasi utasannya.
Rektor Universitas Airlangga Surabaya Prof Mohammad Nasih mengatakan ada tiga kombinasi obat penawar COVID-19 yang sedang diproses perizinannya.
"Dari lima kombinasi obat penawar COVID-19, hanya tiga yang disarankan karena mempunyai potensi penyembuhan terbesar," ujarnya di Surabaya, Minggu (16/8/2020).
Ketiganya yakni Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Nasih mengatakan meskipun temuan obat penawar COVID-19 tersebut adalah obat kombinasi, namun BPOM tetap menganggap obat yang dihasilkan Unair digolongkan pada obat baru. Untuk itu, pihaknya masih menunggu pembahasan dengan BPOM.
"Tentu BIN (Badan Intelijen Negara) dan Kasad (Kepala Staf TNI Angkatan Darat) yang akan mempresentasikan ke BPOM untuk memperlancar proses terbitnya izin produksi dan edar," ucapnya.
Namun, Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono mengajukan gugatan terhadap akademisi Unair atas temuan itu.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat itu mengatakan bahwa obat Covid-19 buatan Unair tidak sesuai standar prosedur penelitian.