Pakaian Adatnya Dipakai, Masyarakatnya Diintimidasi, Apa Kata Komnas HAM?

Rabu, 19 Agustus 2020 | 12:38 WIB
Pakaian Adatnya Dipakai, Masyarakatnya Diintimidasi, Apa Kata Komnas HAM?
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam. (Suara.com/M. Yasir).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam menilai makna pakaian adat Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, yang dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan HUT ke-75 RI baru sebatas simbolis atau belum betul-betul dijadikan penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat adat.

Pasalnya, sehari setelah itu, berlangsung intimidasi terhadap masyarakat adat Besipae, Nusa Tenggara Timur, yang dilakukan aparat. Kejadian itu amat disayangkan Komnas HAM.

"Penggunaan pakaian adat yang semestinya bermakna subtansi akan penghormatan dan perlindungan belum esensial dilakukan. Masih sebatas simbolisme. Sangat disayangkan kondisi kontradiksi ini. Di sisi lain dalam narasi kenegaraan ada nuansa perlindungan, penghormatan, namun secara faktual malah terjadi penggusuran, kekerasan," kata Anam kepada Suara.com, Rabu (19/8/2020).

Dalam upacara yang berlangsung di Istana, Jakarta, Senin (17/8/2020), penuh nuansa keberagaman. Jokowi mengenakan pakaian adat Timor Tengah Selatan, sedangkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengenakan pakaian adat melayu Indonesia.

Baca Juga: Disertai Suara Tembakan, Aparat Usir Warga Adat Besipae dari Rumahnya

Anam berharap kepada Jokowi beserta jajaran pemerintah jangan mengenakan pakaian adat sekedar sebagai simbol. Mestinya maknanya lebih jauh dari itu, mau benar-benar membuktikan keperpihakan pada masyarakat adat dengan membela hak-hak mereka, khususnya adat Besipae.

"Oleh karena menjadi penting bagi Presiden dan jajarannya sampai di level daerah untuk membuktikan bahwa pakaian adat yang digunakan oleh presiden dalam acara kenegaraan tersebut tidak sekedar simbolisme. Namun substansial dan nyata dengan cara menyelesaikan kasus masyarakat adat Besipae yang tergusur tersebut dengan mekanime penghormatan dan perlindungan HAM," kata Anam.

Masyarakat adat Besipae mendapat intimidasi ketika anggota Brimob Polri, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja melakukan upaya mengosongkan salah satu lahan di Kecamatan Amnuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Intimidasi terjadi karena masyarakat adat Besipae menolak meninggalkan lahan yang telah mereka huni secara turun temurun.

Dalam upaya pengosongan lahan yang terjadi pada Selasa (18/8/2020), pagi, petugas sampai mengeluarkan tembakan peringatan dan hal itu membuat anak-anak dan ibu-ibu histeris.

Baca Juga: Jeritan Pilu Wanita Adat Besipae: Tuhan Tidak Buta, Tuhan Tidak Buta...!

"Iya benar (ada tembakan peringatan) sekitar pukul 10 WITA," kata advokat masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, kepada Suara.com pada malam harinya.

Rumah-rumah darurat berbahan rumbia didirikan warga lagi karena bangunan permanen yang sebelumnya berdiri telah dihancurkan.

"Rumah yang dirusak adalah milik warga, dibangun sendiri, biaya sendiri. Setelah dirusak dan dibongkar warga tidak memiliki rumah tinggal dan hidup terlantar," ujar Ahmad.

"Tinggal di bawah pohon dan mendirikan rumah darurat. Tapi rumah darurat itu tadi pagi dibongkar lagi," Ahmad menambahkan.

Beberapa bulan sebelum kejadian, pada Mei 2020, sejumlah perempuan adat Besipae melakukan aksi telanjang dada untuk memprotes rencana pengosongan lahan yang akan dilakukan oleh pemerintah provinsi. 

"Aksi “telanjang dada” pada bulan Mei 2020 oleh perempuan setempat sebagai simbol mempertahankan hak-hak adat mereka," kata Ahmad.

Selain mengintimidasi,  dua masyarakat adat Besipae bernama Korenelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) ditangkap dan proses penangkapannya dinilai tanpa surat dan alasan yang jelas.

"Kedua warga Besipae tersebut, diambil oleh enam anggota Brimbob, satu intel polisi dan Kepala UPTD Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur," kata Ahmad.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI