“Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinnekaan agama,” kata Saiful Mujani.
Saiful Mujani kemudian mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah.
Dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten serta kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.
Dia menyatakan di banyak negara yang penduduknya mayoritas muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.
Baca Juga: Mantan Pelatih Timnas Indonesia, Henk Wullems Meninggal Dunia
Tapi kasus Indonesia berbeda karena partai-partai agama (Islam) justru terlalu kecil dibanding partai-partai nasionalis.
Tapi yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, menurut sebuah studi, kebijakan publik bermuatan syari’ah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013)
Saiful menambahkan di antara legislator dari partai-partai nasionalis itu, di banyak daerah, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah.
Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam itu bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah.
Saiful Mujani menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah karena alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam.
Baca Juga: Cerita Erick Thohir Pernah Direndahkan saat Jadi Pekerja Migran
“Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” kata dia.