Suara.com - Momen HUT RI yang seharusnya menyatukan bangsa, dalam seminggu terakhir, malah ramai polemik soal adanya pola salib dalam komposisi elemen logo yang direkomendasikan di spanduk-spanduk.
Seperti apa peta percakapan logo mirip salib di media sosial? Berikut ini hasil analisa yang dilakukan oleh Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, yang diunggah ke Twitter.
SNA salib
Percakapan tentang salib dalam seminggu terakhir memperlihatkan topik komposisi logo dalam spanduk HUT RI ini. Tampak ada @aagym, @Hilmi28, @malakmalakmal, dan lain-lain dalam satu cluster, yang ramai-ramai diserang oleh cluster lain yang lebih besar.
Baca Juga: Dagelan Politik Dari Simbol Mirip Salib Sampai Maksa Nelpon di Pesawat
Cluster Aa Gym
Cuitan Aa Gym pada 11 Agustus yang melahirkan serangan kepada dia sendiri, mendapat dukungan dari @Hilmi28, @malakmalakmal dan lain-lain pada 13 Agustus 2020.
Cluster kontra 1
Di sisi yang mengritik dan menyerang Aa Gym dan kawan-kawan ada @ElgarLouee, @IanSalim, @rockadocta, @ruang_sambatt dan kawan-kawan.
Cluster kontra 2
Baca Juga: Spanduk HUT Ke-75 RI Disebut Mirip Salib, Revisi Warganet Ini Viral
Kritik kepada Aa Gym dan kawan-kawan juga dari cluster @TeddyGusnaidi, @narkosun, @yusuf_dumdum, @habibthink dan kawan-kawan.
Most shared images: pro - kontra salib
Dari gambar yang paling banyak dishare di Twitter ini, ada protes, kritikan, serangan, juga humor.
Apa yang salah?
Banyak yang bingung mengapa supergraphic yang menghasilkan 10 elemen sebagai representasi nilai luhur Pancasila itu malah menghadirkan polemik. Menurut Ismail Fahmi ada dua hal yang berbeda. Pertama, elemen supergraphic. Kedua, komposisi turunan dari elemen supergraphic.
"Saya kira semua bangga dengan 10 elemen supergraphic. Begitu genius, dengan pola grafis bisa mewakili 10 nilai dalam Pancasila. Ini fix interpretasinya. Nah, yang punya potensi multi interpretasi adalah komposisi turunannya. Siapapun bisa membuat komposisi, seperti Lego," kata dia.
Komposisi turunan ini yang kemudian digunakan dalam spanduk, ternyata dilihat dengan interpretasi yang berbeda-beda oleh setiap orang.
Ada yang melihatnya sebagai komposisi yang random tak bermakna, ada yang melihat pola, seperti salib misalnya, kata dia.
Bisakah saling menghargai?
Polemik pro-kontra persepsi publik atas komposisi dalam spanduk itu memperlihatkan bahwa "jiwa saling menghargai perbedaan pendapat" itu masih langka.
Warga bangsa ini menunjukkan belum dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Saling serang, merasa paling benar.
Di usia yang ke-75 tahun ini, kata Ismail Fahmi, anak bangsa perlu bersatu, memfokuskan 10 elemen luhur Pancasila ini, untuk mencapai sebuah titik yaitu cita-cita besar bangsa Indonesia.