Cerita Peperangan Terakhir Pejuang Kemerdekaan Usir Belanda dari Bumi Sumut

Bangun Santoso Suara.Com
Senin, 17 Agustus 2020 | 07:58 WIB
Cerita Peperangan Terakhir Pejuang Kemerdekaan Usir Belanda dari Bumi Sumut
Mangara Hutabarat, veteran kemerdekaan yang sudah berumur 92 tahun di Sumut. (Suara.com/Muhlis)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penuh suka dan duka, begitulah salah satu bagian cerita paling banyak dialami para prajurit dan pejuang kemerdekaan. Hal ini juga dialami oleh Mangara Hutabarat (92).

Pahit dan getir masa-masa mempertahankan kemerdekaan masih jelas tergambar dari cerita Mangara sebagai salah satu prajurit perang.

Anggota Legiun Veteran Republik Indonesia itu sudah beberapa kali terlibat pertempuran, bahkan sampai pada saat Agresi Militer Belanda II sekitar tahun 1950.

"Boleh dibilang satu kali seminggu wajib perang melawan Belanda. Dulu arena pertempurannya di Tapanuli Tengah, namanya Sibolga-Tarutung, yakni di Batu Lubang KM 4," kata Mangara menceritakan masa-masa dirinya masih terlibat dalam pertempuran, saat ditemui di kediamannya Minggu (16/8/2020).

Baca Juga: Miris! Pejuang Mata-mata Agresi Militer Belanda Kini Jadi Pedagang Asongan

Kakek yang telah berusia senja kelahiran Tapanuli Tengah tahun 1928 itu ingat betul pertempuran terakhirnya menghadapi tentara kolonial Belanda di tahun 1950.

Dalam ingatannya, kala itu pertempuran terakhir yang ia ikuti sebelum kedaulatan Indonesia benar-benar utuh ke pangkuan Ibu Pertiwi yakni pada Tanggal 25 Juli 1950 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Terjadi pertempuran hebat kala itu dengan sepasukan Belanda di Aek Meranti, Tapanuli Tengah.

Dalam peristiwa bersejarah itu, banyak dari bala tentara Belanda tumbang. Pun begitu halnya pejuang Indonesia ada juga yang gugur kala itu.

"Waktu itu sedang puasa, 20 puasa, besok baru masuk kedaulatan. Perangnya di Aek Meranti di Kabupaten Tapanuli Tengah," katanya.

Baca Juga: Lagi Bawa Penumpang, Driver Ojol di Medan Tiba-tiba Kejang dan Meninggal

Menurut dia, dalam peperangan tersebut tentara Indonesia diuntungkan dari segi posisi, yakni berada pada lokasi yang lebih tinggi.

Sementara pasukan Belanda berada di bawah, sehingga memudahkan tentara Indonesia mengatur serangan dari segala arah.

Dengan menggunakan strategi serangan berlapis, tembakan demi tembakan terus digencarkan ke arah pasukan lawan.

Setiap satu pasukan dengan jumlah 7 personel selesai menembakkan peluru mereka langsung masuk dan berlindung di benteng atau uruk yang sudah dibuat.

Selanjutanya, pasukan yang ada di belakang maju dan menembak secara bergantian ke arah pasukan Belanda dengan tetap mempertahankan posisi.

"Pertempurannya di jarak yang sangat dekat, jadi kalau seandainya saat itu macet senjata, jadi abu lah kami semua," ungkapnya.

Pengorbanan Mangara mengusir penjajah dari tanah Sumatera penuh perjuangan. Ia harus mengorbankan harta hingga bertaruh nyawa.

Mangara menceritakan pernah hampir gugur saat serpihan mortir menghantam badannya saat pertempuran berkecamuk. Beruntung, nyawanya masih di kandung badan hingga saat ini.

"Jadi pecahan mortir itu yang kena. Buktinya ada ini di badan saya bagian belakang ini," katanya.

Setelah masa pertempuran usai, Indonesia mulai menata kemerdekaannya, demikian juga dengan Mangara.

Pada tahun 1954, dia hijrah dari Tapanuli Tengah untuk mengadu nasib ke Kota Medan. Mangara harus hidup berpindah-pindah lantaran tidak punya tempat tinggal.

Bahkan harus menetap di sebuah masjid selama puluhan tahun sebagai nazir Masjid Al Ikhlas yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang.

"Sesudah enggak lagi ada perang dan pasukan dileburkan, gak ada pekerjaan. Hanya disuruh tunggu-tunggu oleh negara tapi tahu-tahu gak di panggil. Jadi kami bukan habis masa tugas waktu itu, tapi dileburkan," bebernya.

Hingga akhirnya, pada tahun 1992 Mangara masuk dan terdaftar sebagai salah satu pejuang kemerdekaan dengan terdaftar menjadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) dan bergaji tetap sampai sekarang.

Kerap berpindah rumah kontrakan dan hidup dalam kesederhanaan, Mangara pun diminta menjadi nazir masjid di Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan sejak tahun 1992 hingga sekarang.

Gaji yang ia dapat dari negara, disisihkan untuk membeli sepetak tanah tepat di samping Masjid Al Ikhlas.

Tanah tersebut lunas ia bayar sekira empat tahun lalu. Di atas tanah itulah ia membangun istana kecil nan sederhana yang ditempati bersama istri dan anak-anaknya.

Pada usia senjanya, nasib Mangara mungkin belum semanis kisah gemilang yang pernah ia raih saat masih berjibaku di medan pertempuran kala mengusir para penjajah dari Nusantara.

Kontributor : Muhlis

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI