Suara.com - Waktu menunjukkan sekitar pukul 11.50 WIB. Kapal cepat dengan mesin tempel 40 PK tiba di sebuah pulau kecil di pesisir Batam. Tepatnya di Pulau Anak Karas. Pulau ini tak berpenghuni, luasnya hanya sekitar 14 hektar saja. Setengahnya berupa dataran berpasir dengan ditumbuhi pohon kelapa dan beberapa jenis tanaman mangrove.
Sisi lainnya berupa perbukitan. Terdapat pula sebuah menara suar yang usianya seudah lebih dari 130 tahun dan masih berfungsi normal sampai saat ini. Keberadaan lampu sebagai penanda bagi kapal-kapal besar yang melintas, membuat Pulau Anak Karas dikenal juga dengan sebutan Pulau Lampu.
Kapal cepat yang membawa rombongan 6 laki-laki dan 2 wanita, salah satunya anak-anak, ini bersandar di bagian ujung Pulau Anak Karas. Semua penumpang turun, kecuali Pak Bujang yang langsung mengendalikan mesin speed boat menuju lokasi yang lebih teduh, menambatkan kapal fiber berwarna biru itu.
Tak lama berselang Pak Bujang sudah bergabung di bawah sebuah pohon rindang di pulau ini. Duduk berbincang sebentar, berkenalan langsung dengan tetamu yang sebelumnya hanya diketahui melalui sambungan ponsel.
Baca Juga: Abrasi Parah, Konservasi Penyu di Trisik Kulon Progo Bakal Direlokasi
Layaknya masyarakat Melayu pesisir, Pak Bujang tidak selalu bisa melafalkan Bahasa Indonesia dalam obrolannya. Beberapa kosa kata Bahasa Melayu terasa asing keluar dari bibirnya. Meskipun begitu, ayah dua putri ini tetap nyaman diajak berbincang. Matanya yang agak kecil terlihat semakin kecil ketika ia tertawa.
Suaranya agak serak, mengimbangi kulitnya yang hitam dimakan panasnya kawasan pesisir.
Di sekitar lokasi kami berbincang, terdapat beberapa kerangkeng terbuat dari jaring, kayu dan papan. Pagar jaring dua lapis ini menjadi benteng pelindung bagi telur-telur penyu yang terkubur di dalam tanah yang dikelilinginya.
Total ada 7 kerangkeng di pulau ini, berisi sekitar 100 butir telur penyu di masing-masingnya. Jarak antar lokasi telur tak tentu. Ada yang hanya beberapa meter saja, ada juga yang sampai sekitar 30 meter.
Anggota rombongan yang penasaran dengan aktivitas Pak Bujang menjaga telur-telur penyu ini terus bertanya. Pak Bujang juga nampak nyaman menjawab. Beberapa kali terdengar ia mengaku tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Khususnya terkait pemahaman atau petunjuk teknis selama dirinya menjalani program konservasi penyu di sini.
Baca Juga: Sudah Hampir Punah, 120 Bayi Penyu Dilepas di Pantai Goa Cemara
Pak Bujang mengaku tidak pernah mendapatkan pelatihan. Bantuan yang didapat juga hanya sekedar fatamorgana yang sampai sekarang belum menjadi kenyataan. Ia hanya disibukan oleh permintaan laporan tanpa ada bimbingan.
Ia juga sempat berkeluh soal ini, juga menjabarkan progres konservasi mandiri yang dijalaninya tidak berjalan optimal karena minimnya pengalaman dan pengetahuannya tentang konservasi penyu. Dari dua sarang pertama yang harusnya menetaskan sekitar 200 tukik, sampai saat ini baru bisa menghasilkan 29 ekor anak penyu saja. Ia hanya menduga anomali cuaca sebagai sebabnya, tidak bisa memberikan kepastian tidak optimalnya metamorphosis yang terjadi.
Pak Bujang juga mengaku khawatir telur-telur di lima sarang lain akan bernasib sama. Meskipun demikian, ia tetap berusaha mencari jalan keluar. Lima sarang sisanya akan dipasang atap untuk menghindari air hujan yang diduga menjadi sebab telur-telur di dalamnya rusak.
"Kalau tidak kena air hujan mungkin akan banyak yang menetas," kata dia kepada kontributor Suara.com.
Sejak Mei 2020 lalu, hampir setiap hari Pak Bujang datang ke pulau ini, memantau sarang-sarang untuk melindungi dari ancaman pemangsa. Kadang ia juga datang pada malam harinya, mengintai induk penyu yang bertelur untuk kemudian langsung mengamankan lokasi dengan pagar jaring berlapis.
Ia mengaku menikmati momen-momen itu. Walaupun memang ketersediaan biaya operasional kadang menjadi tantangan yang menyulitkan. Namun sampai saat ini ia masih tetap melakoninya.
"Saya ingin telur penyu ini bisa netas dan anaknya hidup semakin banyak," ujarnya dengan penuh harapan yang besar.
Tahun 2020 ini, pulau ini sudah beberapa kali didatangi tamu yang ingin mendukung program konservasi penyu yang dijalaninya. Dengan beragam konsep ditawarkan, salah satunya konsep ekologi wisata yang menjadikan penyu sebagai daya tawar utamanya.
Pak Bujang mengaku selalu terbuka dengan program konservasi penyu. Namun sampai saat ini masih belum ada dampak signifikan untuk kemudahannya bekerja.
Di sela obrolan asyik dengan Pak Bujang, beberapa kelapa muda sudah tersaji di sisi lain pohon rindang ini. Tanpa dikomando, satu persatu dari anggota rombongan mengambil dan langsung menenggak air kelapa. Juga menghabiskan isinya dengan sendok yang terbuat dari bagian bawah kulit kelapa.
Anggota rombongan lain yang kebetulan berada di sisi pantai mencari kerang, langsung bergegas menghampiri. Bergerak cepat dari kejauhan untuk mendapatkan kelegaan dari manisnya air kelapa yang baru saja diturunkan dari pohonnya. Puja-puji atas kenikmatan melepas dahaga menggema sesaat, berakhir dengan obrolan tentang Pak Bujang dengan program konservasi yang dijalaninya dalam sunyi.
Sambil mengitari beberapa sarang, warga asli kampung Darat Pulau, Pulau Karas ini mengatakan, total ada 13 sarang penyu di sini pada tahun 2019 lalu. 7 diantaranya menghasilkan 1.072 ekor tukik, sementara 6 sisanya gagal dengan berbagai sebab, termasuk ulah manusia.
Pak Bujang mendapatkan sertifikat dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang. Ia mengaku akan lebih senang lagi jika ada dukungan pada peningkatan infrastruktur penyelamatan telur penyu untuk kemudian dilepasliarkan setelah menjadi tukik, edukasi, juga dukungan sosialisasi kepada masyarakat agar bisa ikut bersama-sama menjaga penyu dan habitatnya.
Dengan dukungan itu, ia meyakini upaya menjaga kelestarian spesies penyu bisa berjalan lebih baik.
Sampai hari ini, Bujang hanya mengandalkan pengalaman dan petunjuk dari orang tuanya tentang penyu. Ia tahu kapan pastinya penyu akan naik bertelur hanya dengan melihat tanda-tanda kilatan di langit dan hitungan bulan dalam kalender Hijriah. Ia tahu ciri atau gerak-gerik penyu ketika akan mengeluarkan telurnya saat sudah berada di pasir dan membuat kubangan.
Pak Bujang juga bisa menemukan di mana persisnya posisi telur penyu ketika hanya mendapati jejak kaki Penyu. Ia tidak selalu bisa melihat langsung penyu bertelur, justru lebih banyak hanya menemukan jejak kaki penyu ketika naik dan turun ke laut setelah bertelur. Karena ada kesibukan lain sebagai nelayan, tidak setiap momen penyu bertelur ia bisa lihat.
"Pas air pasang dan ada kilat agak kuning, itu pasti ada penyu bertelur," tuturnya.
Dari pengalamannya selama bertahun-tahun, prosesi bertelurnya penyu mulai dari naik ke darat mencari lokasi, menggali lubang utama dan lubang tipuan dari pemangsa, bertelur, mengubur telur, hingga akhirnya kembali ke laut, butuh waktu cukup panjang, bisa sampai sekitar 3 atau 4 jam lamanya.
Pada prosesnya hewan yang dilindungi ini sangat sensitif. Ia mengaku tidak berani mendekat karena takut mengganggu proses penyu bertelur. Ia sempat mendapat informasi dari warga kalau ada penyu yang naik ke darat namun tidak bertelur, hal itu mungkin karena terganggu karena mengetahui keberadaan manusia.
Lain halnya bila mendekat ketika penyu telah mengeluarkan telurnya. Keberadaan manusia tidak akan mengganggu proses selanjutnya, walaupun ia tetap tidak berani untuk datang terlalu dekat dengan lokasi Penyu yang tengah bertelur itu.
"Kalau kaki belakangnya sudah menutupi lubang, itu pasti mulai bertelur," jelas Bujang.
Untuk menemukan telur yang sudah ditinggalkan induk Penyu, biasanya Bujang akan menggunakan kayu kecil menusuk pasir yang berada di sekitar kawasan jejak Penyu bertelur. Menusuknya juga tidak bisa dilakukan secara asal. Harus sedikit miring hingga akan menyesuaikan dengan lubang yang dibuat sedikit berbelok.
Bujang tidak langsung bisa. Ia sempat cukup lama menggunakan jasa warga lain untuk menemukan telur-telur yang ditinggalkan induk Penyu di dalam tanah. Membayar warga untuk mengetahui lokasi telur, kemudian ia pagari dengan kerangkeng sederhana dari jaring dan papan agar terlindung dari pemangsa.
Dulu ia membayar orang untuk tahu di mana lokasi telur. Saat ini, Bujang sudah cukup mumpuni, walaupun ia mengaku banyak yang harus dipelajari. Utamanya memaksimalkan perawatan terhadap telur-telur yang ada di semua sarang agar bisa menetas secara optimal.
Obrolan kami terhenti beriringan dengan cahaya matahari yang makin condong ke Barat. Kami bersiap mengulangi perjalanan menuju Pelabuhan Rakyat di Kelurahan Sembulang, tempat terakhir kami menitipkan kendaraan. Bergerak dengan kapal cepat sekitar 40 menit, melintasi Pulau Karas, Pulau Mubut untuk sampai ke tujuan.
Kontributor : Bobi