Suara.com - Aliansi Masyarakat Sipil menilai penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat I Gede Ari Astina atau Jerinx SID atas postingannya menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test tidak tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidak perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A. T. Napitupulu mengatakan bahwa pernyataan Jerinx terhadap penanganan Covid-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.
"Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut," kata Erasmus dalam keterangan tertulis yang didapat Suara.com, Kamis (13/8/2020).
Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian, kekerasan, diskriminasi berdasarkan SARA. Elemen penting dalam ketentuan itu yakni menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Baca Juga: Profil Jerinx SID, Musisi yang Terseret Kasus Pencemaran Nama Baik
Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah atau legitimate expression dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.
"Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut yang merujuk kepada IDI sebagai Kacung WHO sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini," imbuhnya.
Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat beberapa hal. Pertama konteks di dalam ekspresi, kedua posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut, ketiga niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut, keempat kekuatan muatan dari ekspresi. Kelima Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens, dan terakhir kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi.
Menurut dia, rentannya penyalahgunaan pasal penghasutan tersebut mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana.
"Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi," ujar dia.
Baca Juga: Jerinx SID Ditahan Polisi, Satgas Covid-19: Kita Butuh Ketenangan
Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar menyatakan, tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.