Suara.com - Setelah berseteru di Pilpres 2019, hubungan Gerindra dan PDI Perjuangan belakangan semakin mesra. Berawal dari masuknya Gerindra dalam koalisi pemerintah, kini kemesraan hubungan kedua partai itu berlanjut dengan koalisi di sejumlah daerah Pilkada 2020.
Sebagaimana diketahui, baik Gerindra maupun PDI Perjuangan saling dukung mendukung terutama di tiga wilayah daerah Pilkada, yakni Tangerang Selatan, Solo, dan Medan.
Masing-masing dari tiga daerah tersebut turut mengusung keluarga dari Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan keluarga dari Joko Widodo (Jokowi) yang notabenenya merupakan presiden yang diusung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ada nama Rahayu Saraswati Djojohadikusomo, yang tak lain adalah keponakan Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang diusung menjadi calon wakil wali kota Tangsel.
Baca Juga: Ketua Bawaslu: APD Sangat Penting untuk Penyelenggara Pilkada 2020
Sementara dari keluarga Jokowi, ada nama Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang masing-masing diusung menjadi cawalkot Solo dan cawalkot Medan.
Melihat kemesraan kedua partai dalam Pilkada 2020 menjadi tanda tanya sendiri apakah pertanda hubungan Gerindra dan PDIP bakal langgeng hingga Pilpres 2024?
Kondisi itu bak mengulang mengulang koalisi sebagaimana pernah dilakukan oleh kedua partai di Pilpres 2009.
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin memandang hal tersebut belum tentu terjadi.
Sebab, kata dia, politik saat ini masih begitu dinamis di mana masih bisa berubah sewaktu-waktu tergantung dinamika yang terjadi.
Baca Juga: PDIP Usung 8 Petahana di Pilkada 12 Daerah di Sulsel
Karena itu kemesraan Gerindra-PDIP saat ini bukam menjadi rujukan politik ke depannya, terlebih untuk Pilpres 2024.
"Semua masih serba kemungkinan.
Dan dalam sejarah sudah kita buktikan, kemesraan Megawati dan Prabowo itu naik-turun, panas-adem, dan naik turun. Kemesraan di Pilkada juga hal biasa. Karena diikat oleh kepentingan yang sama. Namun jika kepentingannya berbeda, kemesraan pun bisa ambyar," tutur Ujang dihubung Suara.com, Kamis (13/8/2020).
Menurut Ujang, hubungan naik turun antara Gerindra dan PDIP dapat dilihat mulai dari Pilpres 2009 di mana keduanya mesra.
Namun lima tahun kemudian di 2014 keduanya berbeda koalisi hingga di 2019 dan baru bergabung lagi usai adanya rekonsiliasi pada tahun kemarin.
"Kita masih ingat di Pilpres 2009 Megawati dan Prabowo berpasangan sebagai capres dan cawapres. Lalu kalah oleh SBY-Budiono. Megawati dan Prabowo membuat perjanjian batu, di mana Megawati mendukung Prabowo untuk Capres di 2014. Tapi faktanya, Megawati dukung Jokowi, 2019 juga Megawati dukung Jokowi. Setelah ada rekonsiliasi baru Megawati dan Prabowo mesra kembali hingga saat ini," tutur Ujang.
Karena itu, menurutnya, kemesraan antara Gerindra dan PDIP yang kini terlihat di tingkat nasional maupun di sejumlah daerah Pilkada 2020, belum bisa menjadi acuan untuk peta politik keduanya pada Pilpres 2024.
"Untuk ke depan belum tentu. Karena tergantung dinamika politik yang berkembang. Dan tergantung kepentingan politik masing-masing," ucap Ujang.