Kedua, hukum acara pidana secara umum, apalagi dalam kasus narkotika justru membuka peluang besar terjadinya penyiksaan.
Semisal, dari durasi penangkapan dan penahanan yang panjang, penahanan di kantor Kepolisian, hak tersangka yang tidak dijamin termasuk hak atas bantuan hukum atau didampingi pengacara.
Padahal menurut dia, hal tersebut menjadi kunci untuk membuktikan terjadinya penyiksaan yang kerap dialami oleh orang tak mampu menyewa atau membayar pengacara pada saat pemeriksaan awal penyelidikan atau penyidikan.
Kemudian yang ketiga ialah karena tidak adanya lembaga atau mengusut kasus penyiksaan oleh aparat negara, sehingga penyiksaan didegradasi menjadi pelanggaran etik profesi belaka.
Baca Juga: Sampai Nafas Terakhir, Ini 'Siksaan' yang Dirasakan Otong di Markas Polisi
Bukan hanya di Indonesia, praktik penyiksaan yang dilakukan oknum aparat kepolisian dalam hal ini ialah penyidik juga kerap terjadi di Amerika Serikat. Menurutnya tindakan tersebut sudah saatnya dihentikan karena menjadi wujud dari kemerosotan moral penegakan hukum.
Dengan begitu, pihaknya pun menuntuk Polri, Kompolnas RI, serta Komnas HAM dapat mengusut tuntas dan mencari pihak bertanggung jawab atas penyiksaan yang dilakukan terhadap Hendri hingga meninggal dunia.
"Sementara itu, lembaga pengawasan juga seperti macan ompong karena pejabatnya berlatar belakang dari lembaga yang diawasi," ujarnya.
Mereka juga menuntut Jokowi dan DPR RI merevisi KUHAP dan sistem acara pidana yang menutup peluang untuk terjadinya penyiksaan.
"Termasuk membentuk kebijakan teknis antipenyiksaan sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998," ujarnya.
Baca Juga: Kasus Otong, Kompolnas Minta Propam Periksa Penyidik Polresta Barelang
"Dan menuntut Presiden RI untuk mengevaluasi lembaga pengawasan penegak hukum Kepolisian termasuk Kompolnas RI dan Divisi Propam Mabes Polri agar bisa bekerja dengan obyektif dan imparsial."