Suara.com - Seorang anak di bawah umur berinisial EF, di desa Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapatkan tindakan kekerasan oleh oknum aparat kepolisian agar mengaku berada di lokasi kejadian pertikaian antara kelompok pemuda dengan anggota Polsek Biboki. Padahal, EF tidak pernah ada di tempat kejadian keributan tersebut.
Peneliti Lokataru, Fandi, menceritakan keributan antara sekelompok pemuda dengan anggota Polsek Biboki terjadi pada 26 April 2020 yang tengah menggelar razia keramaian terkait pandemi Covid-19.
Empat hari kemudian, entah mendapatkan informasi dari mana, oknum anggota dari Polres Timur Tengah Utara (TTU) mendatangi kediaman EF di pagi hari.
Tanpa aba-aba, saat itu EF dipukuli bahkan dengan menggunakan bambu. Fandi menyebut ada informasi tambahan apabila EF juga sempat ditodongkan senjata api.
Baca Juga: KontraS Soroti 13 Kasus Penganiayaan Oleh Polisi Dalam Lima Bulan Terakhir
"Nah itu tujuan agar supaya sang anak mengaku ada di peristiwa di tanggal 22 (April)," kata Fandi dalam pernyataannya melalui diskusi daring, Rabu (12/8/2020).
Karena merasa mendapatkan tindakan penyiksaan, EF kemudian melaporkannya ke Polres TTU.
Bukannya mendapatkan sambutan baik, ia malah memperoleh intimidasi dengan tujuan EF tidak melanjutkan laporannya serta tidak mengumbar kejadian penyiksaan tersebut.
Pihak Lokataru sudah berusaha melakukan advokasi dengan melibatkan lembaga masyarakat, tokoh pemuka agama dan diteruskan kepada lembaga-lembaga pemerintah seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, hingga KPAI.
Komnas HAM kemudian melanjutkannya dengan mengirim surat kepada Kapolda NTT yang pada dasarnya menanyakan perkembangan penanganan proses dugaan penyiksaan terhadap EF.
Baca Juga: Hanya Karena Ngompol, Balita Usia 4,5 Tahun Tewas Dianiaya Kekasih Ibunya
Hal yang mengagetkan ialah ketika kuasa hukum EF mendapatkan surat dari Polres TTU kepada EF sebagai saksi pada awal Agustus.