Suara.com - Anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pariera mengatakan, pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman harus mempertanggungjawabkan dua hal seiring dirinya yang diminta untuk mengembalikan anggaran beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) senilai Rp 773 juta.
Selain soal pertanggungjawaban ihwal beasiswa LPDP, Veronica dinilai juga harus menjelaskan mengenai aktivitas pembelaan HAM yang ia lakukan terhadap Papua.
"Iya kasus Veronica Koman menyangkut dua pertanggungjawaban terhadap biaya beasiswa LPDP yang sudah dikeluarkan negara melalui Kemenkeu RI dan yang kedua menyangkut aktivitas "pembelaan" HAM menurut Veronika yang berimplikasi keamanan di Papua menurut pihak keamanan," tutur Andreas saat dihubungi Suara.com, Rabu (12/8/2020).
Menurut Andreas, Veronica harus berani menghadapi konsekuensi atas dua hal tersebut. Di mana, Veronica seharusnya kembali lebih dahulu ke Indonesia guna menghadapi persoalan dalam negeri tersebut.
Baca Juga: Veronica Koman Diminta Kembalikan Beasiswa LPDP Senilai Rp 773 Juta
"Iya dong. Dia WNI, dia dapat beasiswa dari pemerintah Indonesia dengan konsekuensinya, dia juga melakukan perbuatan di Indonesia, ya harus berani bertanggung jawab atas perbuatannya," ucap Andreas.
Andreas berujar, dengan kepulangannya ke Indonesia, Veronica sekaligus dapat memenuhi kewajibannya usai meneria beasiswa LPDP.
Di mana, berdasarkan keterangannya, Kementerian Keuangan meminta pengembalian beasiswa lantaran Veronica dianggap tidak pernah pulang ke Indonesia usai menyelesaikan studi di Australia.
"Dengan dia dapat beasiswa, pemerintah sudah memenuhi haknya sebagai WNI. Sekarang sebagai bekas penerima beasiswa yang telah menyelesaikan studi, adalah kewajibannya untuk memenuhi persyaratan sebagai penerima beasiswa untuk bekerja di Indonesia," kata Andreas.
Diketahui, Veronica Koman diminta kembalikan beasiswa LPDP. Tak tanggung-tanggung, dana beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) itu mencapai Rp 773 juta.
Baca Juga: Dijatuhi Hukuman Finansial, Veronica Koman Minta Sri Mulyani Bersikap Adil
Menurut Veronica, alasan LPDP di bawah Kementerian Keuangan mendesak dirinya mengembalikan uang beasiswa lantaran ia tidak kembali ke Indonesia setelah selesai masa studi.
"Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016 sebesar Rp 773.876.918," kata Veronica dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Selasa (11/8/2020).
Veronica membantah bahwa dirinya tidak kembali ke Indonesia setelah masa studinya di Australian National University berakhir.
Ia menduga Kementerian Keuangan telah mengabaikan fakta ia kembali ke Indonesia setelah masa studi.
Veronica menyampaikan keinginannya untuk kembali ke Indonesia, namun ia sedang menghadapi ancaman yang membahayakan keselamatannya.
"Kemenkeu mengabaikan pula fakta bahwa saya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatan saya," katanya.
Veronica meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk bersikap adil dan netral dalam persoalan ini. Ia juga meminta Sri Mulyani tidak ikut menghukumnya karena ia merupakan seorang pengacara HAM untuk Papua.
"Saya meminta Menteri Sri Mulyani bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini," katanya lagi.
Veronica mengatakan, secara detail aktivitas yang ia habiskan selama dua tahun terakhir untuk mengabdi kepada Tanah Air.
Pada Oktober 2018, Veronica mengaku telah mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura.
Pada Maret 2019, ia terbang ke Swiss untuk melakukan advokasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian kembali lagi ke Indonesia.
Ia juga aktif memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019.
Veronica Koman kembali ke Australia pada Juli 2019 untuk menghadiri wisuda. Saat masih berada di Australia, Veronica dipanggil kepolisian Indonesia kemudian masuk dalam Daftar POencarian Orang (DPO) pada September 2019.
"Selama Agustus-September 2019, saya tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat oleh aparat ketika internet dimatikan di Papua," imbuhnya.