Suara.com - Jaksa Agung RI ST Burhanuddin resmi mencabut Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. Pedoman tersebut dicabut usai menuai kritikan dari berbagai pihak.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono menyampaikan pertimbangan daripada pencabutan pedoman tersebut lantaran telah menimbulkan disharmoni antar bidang tugas. Disisi lain juga dinilai belum tepat untuk diberlakukan saat ini.
"Dinyatakan dicabut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 163 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang Pencabutan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020," kata Hari lewat keterengan resmi yang diterima Suara.com, Selasa (11/8/2020) malam.
Hari menjelaskan bahwa pedoman terkait proses pemanggilan hingga penahanan terhadap Jaksa harus seizin Jaksa Agung tersebut sejatinya berdasar pada ketentuan Pasal 8 ayat (5) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Baca Juga: Kejagung Terbitkan Surat Pedoman Pemeriksaan hingga Penahanan Jaksa
Pada pasal yang dimaksud dijelaskan, 'Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.'
"Dalam pelaksanaannya menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda sehingga perlu ditindak lanjuti dengan pedoman pelaksanaannya. Dan hal tersebut telah dilakukan kajian yang cukup lama, namun hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait," ujar Hari.
Tuai Kritik
Keputusan Jaksa Agung menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 menuai kritik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Indonesia Corruption Watch (ICW).
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut surat pedoman nomor 7 Tahun 2020 yang diterbitkan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 6 Agustus 2020 itu hanya akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik.
Baca Juga: Mangkir, Kejagung Panggil Saksi Gratifikasi Jaksa Pinangki Pekan Depan
Terlebih, kata Nawawi, kekinian Kejaksaan Agung RI tengah mendalami skandal kasus terpidana hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra yang turut menyeret sejumlah pejabat penegak hukum. Satu diantarnya yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Mengeluarkan produk seperti ini di saat pandemi kasus Djoko Tjandra dan pemeriksaan Jaksa Pinangki, sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," kata Nawawi saat dikonfirmasi, Selasa (11/8/2020).
Disisi lain, Nawawi juga mengisyaratkan surat pedoman itu seperti menggerus semangat untuk melakukan pemberantasan korupsi yang diduga melibatkan oknum-oknum penegak hukum. Sehingga, wajar jika pada akhirnya timbul kecurigaan di tengah-tengah publik.
"Wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik tehadap produk-produk semacam itu ditengah ramainya kasus Djoko Tjandra yang ikut menyeret nama oknum jaksa itu," ungkap Nawawi.
Senada dengan itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhan pun menduga bahwa Pedoman Nomor Tahun 2020 sengaja diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI. Adapun, Kurnia mengemukakan kemungkinan daripada tujuannya yakni agar perkara tindak pidana yang menyeret Jaksa Pinangki dalam skandal kasus Djoko Tjandra tidak diambil alih oleh institusi penegak hukum lainnya seperti Polri dan KPK.
"Pedoman itu diduga agar perkara tindak pidana yang baru saja disidik oleh Kejaksaan terkait dengan oknum jaksa (Pinangki Sirna Malasari) tersebut tidak bisa diambil alih begitu saja oleh penegak hukum lain," ucap Kurnia.
Atas hal itu, Kurnia pun mengingatkan kembali Kejaksaan Agung mengenai asas hukum equality before the law. Di mana, kata dia, setiap pihak termasuk Jaksa sekali pun tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus sebgaimana termaktub dalam Pasal 112 KUHAP.
"Wajib memenuhi panggilan penegak hukum tanpa adanya mekanisme perizinan tertentu oleh pihak manapun," pungkas Kurnia.